Blogroll

Total Tayangan Halaman

PRESIDENSIALISME ABAL-ABAL DAN KOALISI TENDA BESAR

03.36 |



PRESIDENSIALISME ABAL-ABAL

Pendahuluan
Scott Mainwaring (1990), Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Notre Dame dalam artikelnya yang berjudul, “Presidentialism,  Multipartism, and Democracy: The Difficult of Combination” menyimpulkan bahwa perkawinan antara sistem presidensial dengan sistem  multipartai tidak baik bagi stabilitas demokrasi. Dalam studinya, Mainwaring menemukan bahwa dari 25 negara yang demokrasinya stabil, hanya empat yang menjalankan sistem presidensial. Dan dari empat negara itu, hanya satu yakni Chile yang menggunakan sistem presidensial multipartai. Jika dibandingkan dengan sistem parlementer, sistem presidensial memang terlihat cenderung lebih mendestabilisasi hubungan eksekutif-legislatif, resisten atas perubahan kebijakan, dan kekuatan eksekusi yang lemah. Dan dalam sistem presidensial, sistem dua partai lebih baik dalam menghidari kebuntuan politik. Sedangkan dalam sistem presidensial multipartai, meskipun jauh lebih rumit dan sulit, pemerintah harus mampu membangun kekuatan koalisi agar tercipta stabiltas demokrasi. Dalam tulisannya itu Mainwaring menulis, “In multiparty systems, the chief executive’s party rarely if ever enjoys a majority in the legislature. Consequently, to attain a majority, interparty coalition building is essential. In multiparty parliamentary systems, coalition building often creates the basis for a stable government. Building stable coalitions is considerably more difficult in multiparty presidential democracies”
Mempertahankan stabilitas demokrasi dalam sistem presidesial dalam konteks fragementasi partisan dalam fungsi legislatif, bukan sesuatu yang mustahil. Sampai hari ini masih banyak pakar yang meragukan sistem multipartai dalam demokrasi presidensial. Pada awal 1990an, kritik presidensial yang mengemuka dilakukan oleh Juan J. Linz dan kemudian memiliki pengaruh luas dan cendekiawan yang memiliki pandangan serupa akan mengatakan “sulit menggabungkan antara sistem presidensial dengan demokrasi multipartai. Para pakar dengan pesimis mengatakan demokrasi multipartai berbahaya bagi sistem presidensial dengan menunjuk kemungkinan jalan buntu dalam hubungan eksekutif dan legislatif, akibat tajamnya polarisasi ideologi dan sulitnya mencapai kesepakatan dengan banyak partai politik. Sistem presidensial akan sukses jika menggunakan demokrasi seperti di Amerika Serikat, dimana hanya ada 2 partai politik yang dominan.
Para pendukung sistem parlementer seperti Linz (1990, 1994) dan Stepan dan Skach (1994) mengatakan bahwa sistem presidensialisme lebih rentan terhadap bahaya instabilitas atau kehancuran demokrasi (Democratic Breakdown) dibandingkan sistem parlementer. Untuk mengurangi resiko instabilitas ini, Linz menyarankan agar negara-negara yang telah mengadopsi sistem presidensialisme seperti Amerika Latin supaya mengganti sistem pemerintahannya menjadi parlementerisme. Argumentasi ini secara tidak langsung mengatakan bahwa stabilitas demokrasi merupakan salah satu ciri penting suatu sistem pemerintahan agar bisa berjalan dengan mulus.
Menurut Linz, problem instabilitas demokrasi disebabkan oleh dua alasan. Carey (2005) meringkasnya sebagai berikut:
Pertama, presidensialisme tidak punya katup pengaman layaknya sistem parlementerisme, yaitu mosi tidak percaya yang memungkinkan pembubaran pemerintah saat terjadi krisis tanpa harus menghapus konstitusi. Kedua, presidensialisme menciptakan dorongan-dorongan dan kondisi-kondisi yang justru pertama-tama bisa memicu terjadinya krisis semacam itu, dan terutama yang bisa menggangu relasi antara lembaga eksekutif dan legislatif. Presidensialisme mengobarkan permusuhan antara cabang-cabang pemerintahan yang popular, dengan meniadakan mekanisme konstitusional dalam menyelesaikan konflik-konflik yang serius. Pemisahan yang ketat ini menyiratkan bahwa para presiden tidak punya opsi untu membubarkan lembaga legislatif dan lembaga legislatif tidak punya opsi untuk mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap eksekutif. Ketiadaan opsi tersebut dapat mendorong salah satu atau beberapa partai menggunakan cara-cara inskonstitusional di luar opsi-opsi tersebut dalam situasi konflik sehingga mengancam stabilitas demokrasi presidensial itu sendiri.
Resiko lain dari problem instabilitas demokrasi adalah kemungkinan adanya ekspansi kekuatan presiden yang dapat melahirkan otoritarianisme. Selain itu, ada juga kemungkinan intervensi militer ketika permusuhan antara cabang-cabang pemerintahan berubah menjadi krisis (Mainwaring, 1993). Semua ini menjadikan sistem presidensial rentan mengalami instabilitas demokrasi, jika bukan kehancuran demokrasi.
Sejauh ini, ada pandangan berbeda mengenai sistem presidensial di indonesia, menurut pandangan pertama, sistem presidensial di indonesia merupakan contoh “bahaya presidensialisme multipartai”. Braun (2008), misalnya dalam disertasinya menyimpulkan bahwa sistem presidensial di indonesia menjadi pemicu destabilisasi. Ia menyarankan agar indonesia mengganti sistemnya dengan sistem parlementer sebagaimana thailand. Problem utama kesimpulan braun terletak pada observasinya yang hanya dilakukan dua setengah tahun pertama kerja sistem tersebut, yakni selama periode 2004-2006. Ia menemukan bahwa relasi antara lembaga legislatif dan presiden berada dalam ketengangan yang tinggi karena beberapa RUU tidak berhasi disahkan. Ia lalu menyimpulkan bahwa sistem Indonesia berpotensi menemui kebuntuan. Tetapi setelah periode 2004-2009, RUU yang menurut observasi braun menemui jalan buntu, seperti RUU kebebasan informasi, ternyata akhirnya bisa disahkan. Dengan demikian, bukti yang dikemukakan Braun pun lenyap.
Beberapa pengamat indonesia melansir keberadaan koalisi yang menurut mereka merupakan karakteristik sistem parlementer sebagai problem utama yang membuat sistem presidensial di indonesia tidak bekerja dengan baik.[1] Begitupun menurut penulis, koalisi berarti terlalu banyak kompromi sehingga membuat sistem presidensial di Indonesia lemah dan tidak efektif. Namun hal ini menjadi problematik karena sebenarnya koalisi adalah fenomena umum sistem multipartai, baik dalam sistem parlementer maupun sistem presidensial. Studi-studi empiris juga menunjukan bahwa koalisi dalam sistem presidensial  merupakan suatu fenimena yang sering terjadi layaknya dalam sistem parlementer (Cheibub, 2007; Cheibub, Przworski, Saiegh, 2004).
Kenyataan bahwa presidensialisme multipartai indonesia bekerja dengan baik sejauh ini memang tampak aneh jika dilihat dari pandangan umum tentang bahaya risiko presidensialisme itu sendiri. Meskipun beberapa penelitian yang telah dilakukan di amerika latin, eropa (Kosta Rika, Komlombia, Finlandia, Prancis, Islandia), dan amerika telah memperlihatkan bahwa presidensialisme memberikan catatan keberhasilan, demokrasi presidensial yang baru seperti di indonesia masih diprediksi mengalami instabilitas atau krisis (Kim, 2008). Menurut teori-teori dasar tentang hal tersebut, sistem presidensial cenderung akan gagal: cabang-cabang legislatif dan eksekutif tidak akan mampu membangun relasi yang baik dalam sebuah demokrasi presidensial multipartai (Linz, 1990; 1994; Mainwaring, 1992; Shugart).


Rumusan Masalah
            Menyimpang dari beberapa prediksi teoritis diatas, sistem presidensial multipartai di indonesia berjalan relatif normal. Hubungan yang tegang antara eksekutif dan legislatif memang terjadi tapi tidak berakhir dengan jalan buntu. Dukungan legislatif terhadap agenda-agenda pemerintahan relatif masih terbangun, dengan beberapa masalah di sana-sini. Stabilitas demokrasi Indonesia relatif terjaga. Berdasarkan hal tersebut penulis merumuskan masalah : (1). Benarkah sistem presidensial multipartai di Indonesia berjalan relatif normal dan stabilitas demokrasi dan pemerintahan masih relatif terjaga? (2). Benarkah koalisi tenda besar cukup efektif dalam menjaga stabilitas politik dan mendorong pemerintahan untuk terus dapat bekerja?

Potret Sistem Presidensialisme Multipartai di Indonesia
Salah satu evolusi desain ketatanegaraan Indonesia era reformasi adalah kehidupan multi-partai yang dikawinkan dengan sistem preidensialisme. Sistem kehidupan dan sistem multi-partai diterima sebagai salah satu ciri kehidupan demokratis yang tuntutannya lahir dari era reformasi. Kehidupan multi-partai dipilih berdasarkan landasan hak asasi dan kebebasan sipil yang merupakan lawan dari pengendalian dan pembatasan partai oleh Orde Baru dulu. Selain itu banyak kalangan juga kemudian menilai bahwa multi-partai tak terhindarkan karena mencerminkan pluralitas aspirasi, ideal dan aliran politik yang sudah berkembang di Indonesia sejak lama.
Banyak analisa menegaskan bahwa kombinasi presidensialisme dan multipartisme merupakan kombinasi yang sulit karena besarnya peluang kebuntuan. Dalam kondisi di mana preisden tidak didukung secara cukup oleh partai di legislative, maka bisa terjadi kondisi imobilitas. Partai Presiden yang (minoritas) dipakasa bernegosiasi dengan partai oposisi (yang mayoritas) di legislatif. Kondisi ini berpotensi menimbulkan ketegangan, konflik dan jalan buntu. Seringkali, kalaupun keadaan buntu itu bisa dielakan, biaya politik yang harus dibayar untuk menghindari itu sangat mahal. Terhambatnya program pemerintahan yang berujung pada keterlambatan implementasi kebijakan, terbukanya peluang ‘penyuapan’ eksekutif’ kepada legislatif untuk melicinkan jalan kedua-belah pihak dan konflik dan ketegangan yang tak berkesudahan antara presiden dan legislatif. Dalam suatu studi, Scott Mainwairing mengatakan bahwa:
Multiparty presidentialism is more likely to produce immobilizing executive/legislative deadlock than either parliamentary systems or two-party presidentialism, and presidential system are less fitted to handle executive/legislative deadlock than parliamentary system.[2]

Dalam pengalaman Indonesia, kita memang melihat sejumlah persoalan mendasar dalam praktek presidensialisme kita sekarang ini. Sebagaimana dikemukakan oleh berbagai kritik, kombinasi multipartai dengan sistem presidensialisme murni yang sekarang berlaku di Indonesia memang sudah terbukti sering menghasilkan situasi immobile. Ada keadaan di mana seluruh pemerintahan tersandera di bawah tarik menarik politik legislatif, yang mengakibatkan pemerintahan tidak berjalan secara efektif. Seperti ditegaskan oleh Mainwairing, kecendrungan deadlock bersifat acute dalam system presidensialisme dengan multipartai, terutama apabila fragemntasi sitem kepartaiannya juga tinggi.
Untuk mengatasi itu, dalam banyak perdebatan muncul dua kecendrungan yakni: pertama menekankan perlunya memantapkan system presidensialisme dengan melakukan pengurangan partai peserta pemilu secara evolutif, sebagaimana dilakukan saat ini. Kedua, dengan mencoba mencari calon-calon presiden yang dianggap kuat yang dikira mampu memerintah secara efektif. Melihat dua kecendrungan di atas, apabila kita bersikukuh untuk tetap mempertahankan presidensialisme murni, maka jalan ke luar paling masuk akal adalah dengan memberlakukan sistem dwi-partai. Ini artinya kita harus melakukan penyederhanaan partai secara ekstrim. Jalan semacam ini adalah jalan yang sulit dan hampir tidak mungkin. Selain pasti akan dibendung oleh partai yang kepentingannya telah mengakar dalam kondisi multi-partai yang sekarang ada, juga secara esensial tetap tidak menjamin stabilitas yang dikehendaki. Mengingat, bahkan di Amerika saja yang prsidensialismenya didukung dengan dua partai, kohabitasi dan kebuntuan politik kerap terjadi.
Namun demikian di pihak lain, untuk secara radikal berubah ke sistem parlementer juga bukan pilihan yang tepat. Sebagaimana dikemukakan oleh Sartori, bagi Negara-negara yang sudah lama dan terbiasa dengan presidensialisme perubahan ke parlemeterisme merupakan sebuah lompatan yang terlampau jauh dan drastis. Itu akan sama sekali memutus akar dan pengalaman kepolitikan sebelumnya, sehingga akan menjadi lompatan petualangan yang penuh resiko.
Dengan kata lain, kita memang perlu memikirkan alternatif untuk memberikan terobosan bagi persoalan dalam disain ketatanegaraan kita. Memaksakan sistem presidensialisme dengan menyederhanakan partai-partai bukanlah jalan yang cocok karena bisa diangap tidak demokratis, sementara mengambil jalan parlementarisme juga tidak mungkin karena terlampau ekstrim dan mendatangkan lebih banyak persoalan.

Koalisi Antar Partai
Pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa sistem presidensial multipartai di Indonesia selalu dibangun dan dipertahankan dengan jalan membangun koalisi tenda besar antar partai. Kawamura (2010) dalam artikelnya yang berjudul, ‘Is the Indonesian President Strong or Weak?” mencatat bahwa  pasca reformasi, kebijakan membangun koalisi tenda besar selalu dilakukan oleh setiap rezim berkuasa mulai dari pemerintahan Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pemerintahan transisi, Habibie membangun pemerintahan koalisi dengan anggota 2 partai dan 1 Fraksi dengan total penguasaan parlemen 97,8 persen. Sementara itu, Abdurahman Wahid membangun koalisi dengan 7 partai (94,8 persen), Megawati  dengan 5 partai (83,2 persen), Susilo Bambang Yudhoyono  KIB 1 dengan 7 Partai (63,8 persen), dan Susilo Bambang Yudhoyono  KIB 2 dengan 6 Partai (75,5 persen). Untuk bahan perbandingan agar apple to apple dengan kondisi tahun 2014, mungkin data bisa kita ambil hanya mulai pemerintahan SBY sejak tahun 2004. Karena sejak itu pilpres dilakukan secara langsung dan amandemen konstitusi UUD 1945 sudah diselesaikan. Terlihat jelas bahwa meskipun Partai Demokrat mengalami peningkatan sebesar tiga kali lipat suaranya dari pemilu 2004 ke pemilu 2009, ternyata koalisi tenda besar tetap dipertahankan.
Jika kita telisik lebih jauh, kebutuhan akan koalisi tenda besar sejalan dengan desain konsititusi dan hubungan kelembagaan pasca amandemen konstitusi yang keempat. Dalam konstitusi kita yang baru, meskipun Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat sehingga parlemen tidak bisa melakukan upaya pemakzulan kecuali terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana termaktub dalam pasal 7B ayat 5 UUD NRI 1945, kekuasaan Presiden ternyata semakin dibatasi dan kekuatan parlemen semakin menguat. Menguatnya kekuasaan parlemen dan makin berkurangnya kekuasaan presiden inilah yang menjadikan koalisi tenda besar menjadi sebuah keniscayaan.
Mengenai perubahan ini, ada baiknya kita simak bagaimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuliskan refleksi pemikiran dan pengalamannya selama dua periodenya menjabat sebagai Presiden RI. Dalam bukunya  yang berjudul Selalu Ada Pilihan (2014) halaman 30-31, beliau menulis:
"Banyak yang mengatakan bahwa era kuat eksekutif telah berakhir. Dulu, di era politik otoritarian, parlemen konon hanya menjadi tukang stempel dan harus mengamini apa saja yang dikatakan pemerintah. Kini situasinya telah berubah. Situasi yang ada justru sebaliknya. Parlemen bisa menyandera dan bahkan mengandaskan apa saja yang menjadi kebijakan dan rencana pemerintah, termasuk kebijakan dan perencanaan pembangunan."

Dalam bab yang diberi judul, “Masihkah kita menganut sistem presidensial?” itu, Presiden
SBY dengan pertanyaan retoris mempertanyakan sistem pemerintahan kita selama ini:
"Apakah Indonesia masih menganut sistem presidensial, ataukah kita menganut sistem semipresidensial, atau bahkan semiparlementer? Yang terang dan yang dirasakan sepertinya budaya politik parlementarian lebih mengemuka dan mendominasi dunia perpolitikan kita."

Untuk menguatkan argumennya, Presiden SBY pun merinci mengapa budaya parlementarian justru menguat dan sistem presidensial melemah. Apa yang oleh banyak orang sebut sebagai pergeseran bandul kekuasaan dari executive heavy ke legislative heavy mungkin benar adanya. Terkait hal ini, Presiden SBY menulis:
"Dulu Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang, sekarang menjadi berhak mengajukan UU. Dulu Presiden memiliki kewenangan utuh dalam memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi, sekarang untuk grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA sedangkan amnesty dan abolisi mempertimbangkan DPR. Dulu Presiden bisa mengangkat langsung Duta dan Konsul, kini semuanya harus mempertimbangkan DPR. Dulu penyusunan kabinet adalah hak prerogratif Presiden, kini pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementrian negara diatur dalam UU. Dulu Presiden bisa mengangkat langsung Panglima TNI dan Kapolri, kini keduanya mesti mendapat persetujuan DPR. Kemudian amat banyak keanggotaan lembaga-lembaga negara yang dulu pengangkatannya oleh Presiden kini hampir semua ‘kekuasaan riil’ untuk mengangkat anggota berbagai lembaga negara termasuk komisi-komisi di era reformasi ini berada di tangan DPR. Boleh dikata Presiden lebih pada peresmian atau pengesahannya. Memang ada yang diusulkan oleh Presiden, tetapi nama-namanya ‘disediakan’ oleh panitia seleksi yang independen, bukan oleh Presiden. Dalam kaitan ini contohnya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Komnas HAM, Komisi Informasi Publik, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Komisi Perlindungan Saksi dan Korban."
Mengomentari perubahan kekuasan legislatif yang semakin kuat, Presiden SBY menulis:
"Tidak ada kewenangan DPR yang dikurangi. Kewenangan DPR justru bertambah secara siginifikan. Dulu dalam konstitusi dikatakan bahwa tiap UU menghendaki persetujuan DPR, sekarang dinyatakan bahwa DPR memegang kekuasan membentuk UU. Dulu tidak diatur secara eksplisit bahkan nyaris tidak dijalankan, kini DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Ditetapkan juga dalam UUD NRI 1945 bahwa setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usulan dan pendapat serta hak imunitas. Dulu tidak dimiliki, kini DPR dapat mengusulkan kepada MPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Kekuasaan ini apabila disatukan dengan ketentuan bahwa Presiden tidak bisa membekukan dan/atau membubarkan DPR, maka parlemen kita memang sungguh sangat kuat. Dalam penyusunan dan penggunaan APBN, kini DPR masuk ke satuan tiga, artinya menyangkut dokumen anggaran yang menetapkan alokasi dana per kementrian/lembaga, sektor, subsektor, program dan proyek kegiatan. DPR juga berhak menahan pencairan anggaran yang terkenal dengan istilah ‘dibintangi oleh DPR’. Sebelum  dicabut bintangnya oleh DPR, anggaran yang sudah disahkan dan juga sudah menjadi UU itu tetap tidak bisa dicairkan."

Apa yang menjadi refleksi pemikiran dan pengalaman Presiden SBY harus menjadi catatan penting bagi Presiden saat ini. Dengan desain insitusional hubungan eksekutif-legislatif pasca amandemen konsitusi seperti sekarang ini tentunya akan memaksa presiden terpilih untuk mampu membangun konsensus dengan berbagai macam kekuatan politik yang ada di parlemen. Konsensus itu harus memenangkan kekuatan mayoritas di parlemen agar seluruh kebijakan dan program pemerintah bisa dijalankan. Jika Presiden gagal membangun konsensus dengan kekuatan di parlemen, pemerintahan akan sulit bekerja secara efektif. Oleh karena itu, koalisi tenda besar bukan lagi menjadi sebuah pilihan, tapi itu sudah menjadi sebuah keharusan.
Dalam kasus kenaikan harga BBM misalnya, di periode pertama SBY kenaikan harga BBM terjadi tiga kali yakni 2 kali di tahun 2005 dan satu kali di tahun 2008. Berkat lobi dan kompromi antara pemerintah dan anggota koalisi, kebijakan ini lolos  dan disetujui oleh parlemen. Di periode kedua, meskipun tidak semulus di periode pertama karena ada satu partai koalisi yang menolak, kenaikan harga BBM tahun 2013 mendapat dukungan dari parlemen. Dalam kasus Century, hal ini membuktikan bahwa meskipun koalisi tenda besar tidak optimal yakni dengan bergulirnya hak angket dan pansus Centruy, namun demikian parlemen tidak sampai pada upaya menggunakan Hak Menyatakan Pendapat bahwa pengambil kebijakan saat itu (baca: Mantan Gubernur BI yang saat ini sebagai Wapres) terbukti bersalah. Justru, parlemen dengan sadar mempercayakan penyelesaian kasus Century ke ranah hukum (ditangani KPK). Dalam kasus Mafia Pajak, meskipun terjadi keretakan hubungan sesama anggota koalisi, terlihat bahwa hak angket itu batal dan tidak jadi digulirkan di parlemen.  Ini menunjukkan bahwa konsensus dalam koalisi tenda besar itu masih berjalan.
Selain itu, perlu dingat bahwa selain kasus-kasus besar diatas, banyak sekali kerjasama legislatif-eksekutif yang berjalan dengan sangat baik. Jika mau adil, banyak sekali kerjasama yang baik juga telah dilakukan di bidang legislasi, pemilihan banyak pejabat tinggi negara, pemilihan komisioner seperti OJK, Bank Indonesia, KPU, KPPU, dan lain-lain. Bahkan, dalam pembahasan RUU APBN  yang setiap tahunnya diajukan oleh Presiden, pihak pemerintah tidak mengalami banyak kesulitan dan kebuntuan di parlemen. Hal ini menunjukkan bahwa konsensus dan kompromi yang dibangun oleh the ruling party dalam koalisi tenda besar bisa bekerja secara efektif.

Stabilitas Demokrasi dan Pemerintahan
Stabilitas demokrasi dan pemerintahan dalam sepuluh tahun periode kepemimpinan SBY tentunya bisa menjadi bukti bahwa koalisi tenda besar itu masih bisa bekerja. Jika seandainya koalisi itu gagal, tentunya pemerintahan SBY akan sulit bertahan dalam dua periode kepemimpinannya. Namun demikian, harus diakui, koalisi tenda besar memang memiliki implikasi yang kurang baik jika gaya kepemimpinan Presiden cenderung selalu akomodatif, kurang direktif dan tidak tegas. Dalam sistem presidensial multipartai memang dibutuhkan kepemimpinan yang mampu membangun konsensus (solidarity maker), namun itu saja belum cukup. Dia juga harus mampu memberikan arah yang jelas dan tegas kemana harusnya koalisi tenda besar ini berjalan. Inilah pentingnya pembahasan secara mendalam terkait platform koalisi dibangun ke depan. Seharusnya ada pembahasan secara rinci bagaimana arah kebijakan politik anggaran ke depan seperti apa, apa saja prioritas legislasi di proglegnas yang akan diperjuangkan, hingga apa saja prioritas-prioritas pembangunan yang menjadi fokus utama dalam Rencana Kerja Pemerintah dan RPJMN. Jika tidak ada upaya pembahasan secara intensif dan mendalam terkait platform ini, kohesi koalisi bisa vulnerable untuk tidak sejalan. Upaya-upaya kompromi jadi lebih sporadis, tidak terukur dan cenderung sangat transaksional. Alih-alih menjadi pemerintahan yang hebat, gaya kepemimpinan yang terlalu akomodatif dalam koalisi tenda besar di sistem presidensial multipartai akan cenderung menjadi pemerintahan yang medioker. 

Kesimpulan

            Menurut teori-teori utama dalam perbandingan sistem pemerintahan, sistem presidensial, apalagi yang multipartai cenderung akan gagal. Penyebab utamanya adalah suasana konflik yang terus terjadi antara eksekutif (Presiden) dan legislatif yang membuat keduanya sulit melakukan kerjasama. Banyaknya partai yang ada di parlemen juga membuat presiden sulit untuk mengamankan agenda-agenda pemerintahannya dari serangan legislatif. Maka, sistem presidensial multipartai cenderung berakhir dengan konflik antara keduanya. Tak jarang sistem ini berujung dengan gagalnya demokrasi. Namun, di Indonesia sistem presidensial multipartai berjalan relatif baik-baik saja. Konflik eksekutif dan legislatif memang ada terjadi namun tidak sampai kepada jalan buntu.
Penulis memandang, adanya beberapa faktor yang saling mendukung. Mekanisme kelembagaan antara eksekutif dan legislatif, seperti mekanssme persetujuan bersama, membuat keduanya harus menyelesaikan perbedaan satu demi satu dan mengutamakan kerjasama. Mekanisme kelembagaan informal seperti koalisi, meskipun mempunyai kelemahan tapi menjadi salah satu jalan keluar dari kebuntuan. Selain itu, terdapat juga mekanisme non-kelembagaan seperti presiden yang cenderung akomodasionis, para elit politik yang pragmatis dan budaya mekanisme konsensus turut mengurangi potensi kebuntuan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Dari berbagai kasus yang sudah dijelaskan, ternyata koalisi tenda besar cukup efektif dalam menjaga stabilitas politik dan pemerintahan. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa kerjasama antara pihak eksekutif dan legistatif yang berujung dengan baik. Dari beberapa kasus diatas juga menunjukkan bahwa konsensus dan kompromi yang dibangun oleh the ruling party dalam koalisi tenda besar bisa bekerja secara efektif.

 

Daftar Pustaka

Ambardi, K. (2009). Mengungkap politik kartel: Studi tentang sistem kepartaian di Indonesia
era reformasi. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) berkerjasama dengan lembaga Survei Indonesia.

AR, H. Y. (2010). Presidensialisme setengah hati: Dari dilema ke kompromi. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

Carey, J. M. (1997). Presidential versus parliementary government. In C. Menard & M.M
Shirley (Eds.). Netherland: Springer.

Cheibub, J. A. (2007). Presidentalism, parliamentarism, and democracy. Cambridge:
Cambridge University Press.

Gaffar, A. (1999). Politik Indonesia:Transisi menuju demokrasi. Yogyakarta: Pustaaka Pelajar.

Hanan, D. (2014). Menakar presidensialisme multipartai di Indonesia: Upaya mencari format
demokrasi yang stabil dan dinamis dalam konteks Indonesia. Bandung: PT Mizan Publika.

Linz, J. J. (1994). Presidential or parliementary democracy: Does it make a difference? In J. J
Linz & A.Valenzuela(Eds). Baltimore and London:The John Hopkins University Press.

Linz, J. J (1990). The perils of presidentialism. Journal of democracy, winter, 51-69.

Mainwaring, S. (1997). Multipartism, robust federalism, and presidentialism in Brazil. In S.
Mainwaring & M.S. Shugart (Eds.). Cambridge: Cambridge University Press.

Mainwaring, S. (1993). Presidentialismm multipartiism, and democracy: The difficult  
combination. Comparative Political Studies, 26(2), 198-228.

Yudhoyono, S. B. (2014). Selalu ada pilihan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.



[1] Lihat, misalnya Sukardi Rinakit (Kompas. 16 Februari 2010) dan Hanta Yudha AR (2010).
[2] Scott Mainwairing, Presidentialism, Multyparty System and Democracy: A Difficult Combination, dalam Robert A. Dahl, Ian Shapiro dan Jose Antonio Cheibub, The Democracy Source Book, (Cambridge: The MIT Press, 2003), hlm. 266-271.
Read More