PRESIDENSIALISME ABAL-ABAL
Pendahuluan
Scott
Mainwaring (1990), Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Notre Dame dalam
artikelnya yang berjudul, “Presidentialism,
Multipartism, and Democracy: The Difficult of Combination” menyimpulkan
bahwa perkawinan antara sistem presidensial dengan sistem multipartai
tidak baik bagi stabilitas demokrasi. Dalam studinya, Mainwaring menemukan
bahwa dari 25 negara yang demokrasinya stabil, hanya empat yang menjalankan
sistem presidensial. Dan dari empat negara itu, hanya satu yakni Chile yang
menggunakan sistem presidensial multipartai. Jika dibandingkan dengan sistem
parlementer, sistem presidensial memang terlihat cenderung lebih
mendestabilisasi hubungan eksekutif-legislatif, resisten atas perubahan kebijakan,
dan kekuatan eksekusi yang lemah. Dan dalam sistem presidensial, sistem dua
partai lebih baik dalam menghidari kebuntuan politik. Sedangkan dalam sistem
presidensial multipartai, meskipun jauh lebih rumit dan sulit, pemerintah harus
mampu membangun kekuatan koalisi agar tercipta stabiltas demokrasi. Dalam
tulisannya itu Mainwaring menulis, “In
multiparty systems, the chief executive’s party rarely if ever enjoys a
majority in the legislature. Consequently, to attain a majority, interparty
coalition building is essential. In multiparty parliamentary systems, coalition
building often creates the basis for a stable government. Building stable
coalitions is considerably more difficult in multiparty presidential
democracies”
Mempertahankan stabilitas demokrasi dalam sistem presidesial dalam
konteks fragementasi partisan dalam fungsi legislatif, bukan sesuatu yang
mustahil. Sampai hari ini masih banyak pakar yang meragukan sistem multipartai
dalam demokrasi presidensial. Pada awal 1990an, kritik presidensial yang
mengemuka dilakukan oleh Juan J. Linz dan kemudian memiliki pengaruh luas dan
cendekiawan yang memiliki pandangan serupa akan mengatakan “sulit menggabungkan
antara sistem presidensial dengan demokrasi multipartai. Para pakar dengan
pesimis mengatakan demokrasi multipartai berbahaya bagi sistem presidensial
dengan menunjuk kemungkinan jalan buntu dalam hubungan eksekutif dan legislatif,
akibat tajamnya polarisasi ideologi dan sulitnya mencapai kesepakatan dengan
banyak partai politik. Sistem presidensial akan sukses jika menggunakan
demokrasi seperti di Amerika Serikat, dimana hanya ada 2 partai politik yang
dominan.
Para
pendukung sistem parlementer seperti Linz (1990, 1994) dan Stepan dan Skach
(1994) mengatakan bahwa sistem presidensialisme lebih rentan terhadap bahaya
instabilitas atau kehancuran demokrasi (Democratic
Breakdown) dibandingkan sistem parlementer. Untuk mengurangi resiko
instabilitas ini, Linz menyarankan agar negara-negara yang telah mengadopsi
sistem presidensialisme seperti Amerika Latin supaya mengganti sistem
pemerintahannya menjadi parlementerisme. Argumentasi ini secara tidak langsung
mengatakan bahwa stabilitas demokrasi merupakan salah satu ciri penting suatu
sistem pemerintahan agar bisa berjalan dengan mulus.
Menurut
Linz, problem instabilitas demokrasi disebabkan oleh dua alasan. Carey (2005)
meringkasnya sebagai berikut:
Pertama, presidensialisme
tidak punya katup pengaman layaknya sistem parlementerisme, yaitu mosi tidak
percaya yang memungkinkan pembubaran pemerintah saat terjadi krisis tanpa harus
menghapus konstitusi. Kedua, presidensialisme
menciptakan dorongan-dorongan dan kondisi-kondisi yang justru pertama-tama bisa
memicu terjadinya krisis semacam itu, dan terutama yang bisa menggangu relasi
antara lembaga eksekutif dan legislatif. Presidensialisme mengobarkan
permusuhan antara cabang-cabang pemerintahan yang popular, dengan meniadakan
mekanisme konstitusional dalam menyelesaikan konflik-konflik yang serius. Pemisahan
yang ketat ini menyiratkan bahwa para presiden tidak punya opsi untu
membubarkan lembaga legislatif dan lembaga legislatif tidak punya opsi untuk
mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap eksekutif. Ketiadaan opsi tersebut
dapat mendorong salah satu atau beberapa partai menggunakan cara-cara
inskonstitusional di luar opsi-opsi tersebut dalam situasi konflik sehingga
mengancam stabilitas demokrasi presidensial itu sendiri.
Resiko
lain dari problem instabilitas demokrasi adalah kemungkinan adanya ekspansi
kekuatan presiden yang dapat melahirkan otoritarianisme. Selain itu, ada juga
kemungkinan intervensi militer ketika permusuhan antara cabang-cabang
pemerintahan berubah menjadi krisis (Mainwaring, 1993). Semua ini menjadikan
sistem presidensial rentan mengalami instabilitas demokrasi, jika bukan
kehancuran demokrasi.
Sejauh
ini, ada pandangan berbeda mengenai sistem presidensial di indonesia, menurut
pandangan pertama, sistem presidensial di indonesia merupakan contoh “bahaya
presidensialisme multipartai”. Braun (2008), misalnya dalam disertasinya
menyimpulkan bahwa sistem presidensial di indonesia menjadi pemicu
destabilisasi. Ia menyarankan agar indonesia mengganti sistemnya dengan sistem
parlementer sebagaimana thailand. Problem utama kesimpulan braun terletak pada
observasinya yang hanya dilakukan dua setengah tahun pertama kerja sistem
tersebut, yakni selama periode 2004-2006. Ia menemukan bahwa relasi antara lembaga
legislatif dan presiden berada dalam ketengangan yang tinggi karena beberapa
RUU tidak berhasi disahkan. Ia lalu menyimpulkan bahwa sistem Indonesia
berpotensi menemui kebuntuan. Tetapi setelah periode 2004-2009, RUU yang
menurut observasi braun menemui jalan buntu, seperti RUU kebebasan informasi,
ternyata akhirnya bisa disahkan. Dengan demikian, bukti yang dikemukakan Braun
pun lenyap.
Beberapa
pengamat indonesia melansir keberadaan koalisi yang menurut mereka merupakan
karakteristik sistem parlementer sebagai problem utama yang membuat sistem
presidensial di indonesia tidak bekerja dengan baik.[1] Begitupun menurut penulis,
koalisi berarti terlalu banyak kompromi sehingga membuat sistem presidensial di
Indonesia lemah dan tidak efektif. Namun hal ini menjadi problematik karena
sebenarnya koalisi adalah fenomena umum sistem multipartai, baik dalam sistem
parlementer maupun sistem presidensial. Studi-studi empiris juga menunjukan
bahwa koalisi dalam sistem presidensial
merupakan suatu fenimena yang sering terjadi layaknya dalam sistem
parlementer (Cheibub, 2007; Cheibub, Przworski, Saiegh, 2004).
Kenyataan
bahwa presidensialisme multipartai indonesia bekerja dengan baik sejauh ini
memang tampak aneh jika dilihat dari pandangan umum tentang bahaya risiko presidensialisme
itu sendiri. Meskipun beberapa penelitian yang telah dilakukan di amerika
latin, eropa (Kosta Rika, Komlombia, Finlandia, Prancis, Islandia), dan amerika
telah memperlihatkan bahwa presidensialisme memberikan catatan keberhasilan,
demokrasi presidensial yang baru seperti di indonesia masih diprediksi
mengalami instabilitas atau krisis (Kim, 2008). Menurut teori-teori dasar
tentang hal tersebut, sistem presidensial cenderung akan gagal: cabang-cabang
legislatif dan eksekutif tidak akan mampu membangun relasi yang baik dalam
sebuah demokrasi presidensial multipartai (Linz, 1990; 1994; Mainwaring, 1992;
Shugart).
Rumusan Masalah
Menyimpang dari beberapa prediksi
teoritis diatas, sistem presidensial multipartai di indonesia berjalan relatif normal.
Hubungan yang tegang antara eksekutif dan legislatif memang terjadi tapi tidak
berakhir dengan jalan buntu. Dukungan legislatif terhadap agenda-agenda
pemerintahan relatif masih terbangun, dengan beberapa masalah di sana-sini.
Stabilitas demokrasi Indonesia relatif terjaga. Berdasarkan hal tersebut
penulis merumuskan masalah : (1). Benarkah
sistem presidensial multipartai di Indonesia berjalan relatif normal dan
stabilitas demokrasi dan pemerintahan masih relatif terjaga? (2). Benarkah koalisi tenda besar cukup efektif
dalam menjaga stabilitas politik dan mendorong pemerintahan untuk terus dapat
bekerja?
Potret Sistem Presidensialisme
Multipartai di Indonesia
Salah satu evolusi desain ketatanegaraan Indonesia era
reformasi adalah kehidupan multi-partai yang dikawinkan dengan sistem
preidensialisme. Sistem kehidupan dan sistem multi-partai diterima sebagai
salah satu ciri kehidupan demokratis yang tuntutannya lahir dari era reformasi.
Kehidupan multi-partai dipilih berdasarkan landasan hak asasi dan kebebasan
sipil yang merupakan lawan dari pengendalian dan pembatasan partai oleh Orde
Baru dulu. Selain itu banyak kalangan juga kemudian menilai bahwa multi-partai
tak terhindarkan karena mencerminkan pluralitas aspirasi, ideal dan aliran
politik yang sudah berkembang di Indonesia sejak lama.
Banyak analisa menegaskan bahwa kombinasi
presidensialisme dan multipartisme merupakan kombinasi yang sulit karena
besarnya peluang kebuntuan. Dalam kondisi di mana preisden tidak didukung
secara cukup oleh partai di legislative, maka bisa terjadi kondisi imobilitas.
Partai Presiden yang (minoritas) dipakasa bernegosiasi dengan partai oposisi
(yang mayoritas) di legislatif. Kondisi ini berpotensi menimbulkan ketegangan,
konflik dan jalan buntu. Seringkali, kalaupun keadaan buntu itu bisa dielakan,
biaya politik yang harus dibayar untuk menghindari itu sangat mahal.
Terhambatnya program pemerintahan yang berujung pada keterlambatan implementasi
kebijakan, terbukanya peluang ‘penyuapan’ eksekutif’ kepada legislatif untuk
melicinkan jalan kedua-belah pihak dan konflik dan ketegangan yang tak
berkesudahan antara presiden dan legislatif. Dalam suatu studi, Scott
Mainwairing mengatakan bahwa:
Multiparty
presidentialism is more likely to produce immobilizing executive/legislative
deadlock than either parliamentary systems or two-party presidentialism, and
presidential system are less fitted to handle executive/legislative deadlock
than parliamentary system.[2]
Dalam pengalaman Indonesia, kita memang melihat
sejumlah persoalan mendasar dalam praktek presidensialisme kita sekarang ini.
Sebagaimana dikemukakan oleh berbagai kritik, kombinasi multipartai dengan
sistem presidensialisme murni yang sekarang berlaku di Indonesia memang sudah
terbukti sering menghasilkan situasi immobile. Ada keadaan di mana
seluruh pemerintahan tersandera di bawah tarik menarik politik legislatif, yang
mengakibatkan pemerintahan tidak berjalan secara efektif. Seperti ditegaskan
oleh Mainwairing, kecendrungan deadlock bersifat acute dalam
system presidensialisme dengan multipartai, terutama apabila fragemntasi sitem
kepartaiannya juga tinggi.
Untuk mengatasi itu, dalam banyak perdebatan muncul
dua kecendrungan yakni: pertama menekankan perlunya memantapkan system
presidensialisme dengan melakukan pengurangan partai peserta pemilu secara evolutif,
sebagaimana dilakukan saat ini. Kedua, dengan mencoba mencari calon-calon
presiden yang dianggap kuat yang dikira mampu memerintah secara efektif. Melihat
dua kecendrungan di atas, apabila kita bersikukuh untuk tetap mempertahankan
presidensialisme murni, maka jalan ke luar paling masuk akal adalah dengan
memberlakukan sistem dwi-partai. Ini artinya kita harus melakukan penyederhanaan
partai secara ekstrim. Jalan semacam ini adalah jalan yang sulit dan hampir
tidak mungkin. Selain pasti akan dibendung oleh partai yang kepentingannya telah
mengakar dalam kondisi multi-partai yang sekarang ada, juga secara esensial tetap
tidak menjamin stabilitas yang dikehendaki. Mengingat, bahkan di Amerika saja yang
prsidensialismenya didukung dengan dua partai, kohabitasi dan kebuntuan politik
kerap terjadi.
Namun demikian di pihak lain, untuk secara radikal
berubah ke sistem parlementer juga bukan pilihan yang tepat. Sebagaimana
dikemukakan oleh Sartori, bagi Negara-negara yang sudah lama dan terbiasa
dengan presidensialisme perubahan ke parlemeterisme merupakan sebuah lompatan
yang terlampau jauh dan drastis. Itu akan sama sekali memutus akar dan
pengalaman kepolitikan sebelumnya, sehingga akan menjadi lompatan petualangan
yang penuh resiko.
Dengan kata lain, kita memang perlu memikirkan
alternatif untuk memberikan terobosan bagi persoalan dalam disain
ketatanegaraan kita. Memaksakan sistem presidensialisme dengan menyederhanakan
partai-partai bukanlah jalan yang cocok karena bisa diangap tidak demokratis,
sementara mengambil jalan parlementarisme juga tidak mungkin karena terlampau
ekstrim dan mendatangkan lebih banyak persoalan.
Koalisi Antar Partai
Pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa sistem
presidensial multipartai di Indonesia selalu dibangun dan dipertahankan dengan
jalan membangun koalisi tenda besar antar partai. Kawamura (2010) dalam
artikelnya yang berjudul, ‘Is the
Indonesian President Strong or Weak?” mencatat bahwa pasca reformasi,
kebijakan membangun koalisi tenda besar selalu dilakukan oleh setiap rezim
berkuasa mulai dari pemerintahan Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati hingga
Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pemerintahan transisi, Habibie membangun
pemerintahan koalisi dengan anggota 2 partai dan 1 Fraksi dengan total
penguasaan parlemen 97,8 persen. Sementara itu, Abdurahman Wahid membangun
koalisi dengan 7 partai (94,8 persen), Megawati dengan 5 partai (83,2
persen), Susilo Bambang Yudhoyono KIB 1 dengan 7 Partai (63,8 persen), dan
Susilo Bambang Yudhoyono KIB 2 dengan 6 Partai (75,5 persen). Untuk bahan
perbandingan agar apple to apple
dengan kondisi tahun 2014, mungkin data bisa kita ambil hanya mulai
pemerintahan SBY sejak tahun 2004. Karena sejak itu pilpres dilakukan secara
langsung dan amandemen konstitusi UUD 1945 sudah diselesaikan. Terlihat jelas
bahwa meskipun Partai Demokrat mengalami peningkatan sebesar tiga kali lipat
suaranya dari pemilu 2004 ke pemilu 2009, ternyata koalisi tenda besar tetap
dipertahankan.
Jika kita telisik lebih jauh, kebutuhan akan koalisi
tenda besar sejalan dengan desain konsititusi dan hubungan kelembagaan pasca
amandemen konstitusi yang keempat. Dalam konstitusi kita yang baru, meskipun
Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat sehingga parlemen
tidak bisa melakukan upaya pemakzulan kecuali terbukti melakukan pelanggaran
hukum sebagaimana termaktub dalam pasal 7B ayat 5 UUD NRI 1945, kekuasaan
Presiden ternyata semakin dibatasi dan kekuatan parlemen semakin menguat.
Menguatnya kekuasaan parlemen dan makin berkurangnya kekuasaan presiden inilah
yang menjadikan koalisi tenda besar menjadi sebuah keniscayaan.
Mengenai perubahan ini, ada baiknya kita simak
bagaimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuliskan refleksi pemikiran dan
pengalamannya selama dua periodenya menjabat sebagai Presiden RI. Dalam
bukunya yang berjudul Selalu Ada Pilihan (2014) halaman 30-31, beliau
menulis:
"Banyak yang mengatakan bahwa era kuat eksekutif
telah berakhir. Dulu, di era politik otoritarian, parlemen konon hanya menjadi
tukang stempel dan harus mengamini apa saja yang dikatakan pemerintah. Kini
situasinya telah berubah. Situasi yang ada justru sebaliknya. Parlemen bisa
menyandera dan bahkan mengandaskan apa saja yang menjadi kebijakan dan rencana
pemerintah, termasuk kebijakan dan perencanaan pembangunan."
Dalam bab yang diberi judul, “Masihkah kita menganut
sistem presidensial?” itu, Presiden
SBY dengan pertanyaan retoris
mempertanyakan sistem pemerintahan kita selama ini:
"Apakah Indonesia masih menganut sistem
presidensial, ataukah kita menganut sistem semipresidensial, atau bahkan
semiparlementer? Yang terang dan yang dirasakan sepertinya budaya politik
parlementarian lebih mengemuka dan mendominasi dunia perpolitikan kita."
Untuk menguatkan argumennya, Presiden SBY pun merinci
mengapa budaya parlementarian justru menguat dan sistem presidensial melemah.
Apa yang oleh banyak orang sebut sebagai pergeseran bandul kekuasaan dari
executive heavy ke legislative heavy mungkin benar adanya. Terkait hal ini,
Presiden SBY menulis:
"Dulu Presiden memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang, sekarang menjadi berhak mengajukan UU. Dulu Presiden memiliki
kewenangan utuh dalam memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi,
sekarang untuk grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA
sedangkan amnesty dan abolisi mempertimbangkan DPR. Dulu Presiden bisa
mengangkat langsung Duta dan Konsul, kini semuanya harus mempertimbangkan DPR.
Dulu penyusunan kabinet adalah hak prerogratif Presiden, kini pembentukan,
pengubahan, dan pembubaran kementrian negara diatur dalam UU. Dulu Presiden
bisa mengangkat langsung Panglima TNI dan Kapolri, kini keduanya mesti mendapat
persetujuan DPR. Kemudian amat banyak keanggotaan lembaga-lembaga negara yang
dulu pengangkatannya oleh Presiden kini hampir semua ‘kekuasaan riil’ untuk
mengangkat anggota berbagai lembaga negara termasuk komisi-komisi di era
reformasi ini berada di tangan DPR. Boleh dikata Presiden lebih pada peresmian
atau pengesahannya. Memang ada yang diusulkan oleh Presiden, tetapi
nama-namanya ‘disediakan’ oleh panitia seleksi yang independen, bukan oleh
Presiden. Dalam kaitan ini contohnya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Komnas HAM, Komisi
Informasi Publik, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Komisi Perlindungan Saksi dan
Korban."
Mengomentari perubahan
kekuasan legislatif yang semakin kuat, Presiden SBY menulis:
"Tidak ada kewenangan DPR yang dikurangi.
Kewenangan DPR justru bertambah secara siginifikan. Dulu dalam konstitusi
dikatakan bahwa tiap UU menghendaki persetujuan DPR, sekarang dinyatakan bahwa
DPR memegang kekuasan membentuk UU. Dulu tidak diatur secara eksplisit bahkan
nyaris tidak dijalankan, kini DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan
hak menyatakan pendapat. Ditetapkan juga dalam UUD NRI 1945 bahwa setiap
anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usulan dan
pendapat serta hak imunitas. Dulu tidak dimiliki, kini DPR dapat mengusulkan
kepada MPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya. Kekuasaan ini apabila disatukan dengan ketentuan bahwa Presiden
tidak bisa membekukan dan/atau membubarkan DPR, maka parlemen kita memang
sungguh sangat kuat. Dalam penyusunan dan penggunaan APBN,
kini DPR masuk ke satuan tiga, artinya menyangkut dokumen anggaran yang
menetapkan alokasi dana per kementrian/lembaga, sektor, subsektor, program dan
proyek kegiatan. DPR juga berhak menahan pencairan anggaran yang terkenal
dengan istilah ‘dibintangi oleh DPR’. Sebelum dicabut bintangnya oleh
DPR, anggaran yang sudah disahkan dan juga sudah menjadi UU itu tetap tidak
bisa dicairkan."
Apa yang menjadi refleksi pemikiran dan pengalaman
Presiden SBY harus menjadi catatan penting bagi Presiden saat ini. Dengan
desain insitusional hubungan eksekutif-legislatif pasca amandemen konsitusi
seperti sekarang ini tentunya akan memaksa presiden terpilih untuk mampu
membangun konsensus dengan berbagai macam kekuatan politik yang ada di
parlemen. Konsensus itu harus memenangkan kekuatan mayoritas di parlemen agar
seluruh kebijakan dan program pemerintah bisa dijalankan. Jika Presiden gagal
membangun konsensus dengan kekuatan di parlemen, pemerintahan akan sulit
bekerja secara efektif. Oleh karena itu, koalisi tenda besar bukan lagi menjadi
sebuah pilihan, tapi itu sudah menjadi sebuah keharusan.
Dalam kasus kenaikan harga BBM misalnya, di periode
pertama SBY kenaikan harga BBM terjadi tiga kali yakni 2 kali di tahun 2005 dan
satu kali di tahun 2008. Berkat lobi dan kompromi antara pemerintah dan anggota
koalisi, kebijakan ini lolos dan disetujui oleh parlemen. Di periode
kedua, meskipun tidak semulus di periode pertama karena ada satu partai koalisi
yang menolak, kenaikan harga BBM tahun 2013 mendapat dukungan dari parlemen.
Dalam kasus Century, hal ini membuktikan bahwa meskipun koalisi tenda besar
tidak optimal yakni dengan bergulirnya hak angket dan pansus Centruy, namun
demikian parlemen tidak sampai pada upaya menggunakan Hak Menyatakan Pendapat
bahwa pengambil kebijakan saat itu (baca: Mantan Gubernur BI yang saat ini
sebagai Wapres) terbukti bersalah. Justru, parlemen dengan sadar mempercayakan
penyelesaian kasus Century ke ranah hukum (ditangani KPK). Dalam kasus Mafia
Pajak, meskipun terjadi keretakan hubungan sesama anggota koalisi, terlihat
bahwa hak angket itu batal dan tidak jadi digulirkan di parlemen. Ini
menunjukkan bahwa konsensus dalam koalisi tenda besar itu masih berjalan.
Selain itu, perlu dingat bahwa selain kasus-kasus
besar diatas, banyak sekali kerjasama legislatif-eksekutif yang berjalan dengan
sangat baik. Jika mau adil, banyak sekali kerjasama yang baik juga telah
dilakukan di bidang legislasi, pemilihan banyak pejabat tinggi negara,
pemilihan komisioner seperti OJK, Bank Indonesia, KPU, KPPU, dan lain-lain.
Bahkan, dalam pembahasan RUU APBN yang setiap tahunnya diajukan oleh
Presiden, pihak pemerintah tidak mengalami banyak kesulitan dan kebuntuan di
parlemen. Hal ini menunjukkan bahwa konsensus dan kompromi yang dibangun oleh
the ruling party dalam koalisi tenda besar bisa bekerja
secara efektif.
Stabilitas Demokrasi dan Pemerintahan
Stabilitas demokrasi dan pemerintahan dalam sepuluh
tahun periode kepemimpinan SBY tentunya bisa menjadi bukti bahwa koalisi tenda
besar itu masih bisa bekerja. Jika seandainya koalisi itu gagal, tentunya
pemerintahan SBY akan sulit bertahan dalam dua periode kepemimpinannya. Namun
demikian, harus diakui, koalisi tenda besar memang memiliki implikasi yang
kurang baik jika gaya kepemimpinan Presiden cenderung selalu akomodatif, kurang
direktif dan tidak tegas. Dalam sistem presidensial multipartai memang
dibutuhkan kepemimpinan yang mampu membangun konsensus (solidarity maker),
namun itu saja belum cukup. Dia juga harus mampu memberikan arah yang jelas dan
tegas kemana harusnya koalisi tenda besar ini berjalan. Inilah pentingnya
pembahasan secara mendalam terkait platform koalisi dibangun ke depan.
Seharusnya ada pembahasan secara rinci bagaimana arah kebijakan politik
anggaran ke depan seperti apa, apa saja prioritas legislasi di proglegnas yang
akan diperjuangkan, hingga apa saja prioritas-prioritas pembangunan yang
menjadi fokus utama dalam Rencana Kerja Pemerintah dan RPJMN. Jika tidak ada
upaya pembahasan secara intensif dan mendalam terkait platform ini, kohesi
koalisi bisa vulnerable untuk tidak sejalan. Upaya-upaya kompromi jadi lebih
sporadis, tidak terukur dan cenderung sangat transaksional. Alih-alih menjadi
pemerintahan yang hebat, gaya kepemimpinan yang terlalu akomodatif dalam
koalisi tenda besar di sistem presidensial multipartai akan cenderung menjadi
pemerintahan yang medioker.
Kesimpulan
Menurut teori-teori utama dalam
perbandingan sistem pemerintahan, sistem presidensial, apalagi yang multipartai
cenderung akan gagal. Penyebab utamanya adalah suasana konflik yang terus
terjadi antara eksekutif (Presiden) dan legislatif yang membuat keduanya sulit
melakukan kerjasama. Banyaknya partai yang ada di parlemen juga membuat
presiden sulit untuk mengamankan agenda-agenda pemerintahannya dari serangan
legislatif. Maka, sistem presidensial multipartai cenderung berakhir dengan
konflik antara keduanya. Tak jarang sistem ini berujung dengan gagalnya
demokrasi. Namun, di Indonesia sistem presidensial multipartai berjalan relatif
baik-baik saja. Konflik eksekutif dan legislatif memang ada terjadi namun tidak
sampai kepada jalan buntu.
Penulis memandang, adanya beberapa faktor yang saling
mendukung. Mekanisme kelembagaan antara eksekutif dan legislatif, seperti
mekanssme persetujuan bersama, membuat keduanya harus menyelesaikan perbedaan
satu demi satu dan mengutamakan kerjasama. Mekanisme kelembagaan informal
seperti koalisi, meskipun mempunyai kelemahan tapi menjadi salah satu jalan
keluar dari kebuntuan. Selain itu, terdapat juga mekanisme non-kelembagaan
seperti presiden yang cenderung akomodasionis, para elit politik yang pragmatis
dan budaya mekanisme konsensus turut mengurangi potensi kebuntuan hubungan
antara eksekutif dan legislatif. Dari berbagai kasus yang sudah dijelaskan,
ternyata koalisi tenda besar cukup efektif dalam menjaga stabilitas politik dan
pemerintahan. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa kerjasama antara pihak
eksekutif dan legistatif yang berujung dengan baik. Dari beberapa kasus diatas
juga menunjukkan bahwa konsensus dan kompromi yang dibangun oleh the ruling
party dalam koalisi
tenda besar bisa bekerja secara efektif.
Daftar
Pustaka
Ambardi,
K. (2009). Mengungkap politik kartel:
Studi tentang sistem kepartaian di Indonesia
era
reformasi. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
berkerjasama dengan lembaga Survei Indonesia.
AR,
H. Y. (2010). Presidensialisme setengah
hati: Dari dilema ke kompromi. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Carey,
J. M. (1997). Presidential versus
parliementary government. In C. Menard & M.M
Shirley (Eds.). Netherland: Springer.
Cheibub,
J. A. (2007). Presidentalism,
parliamentarism, and democracy. Cambridge:
Cambridge University Press.
Gaffar,
A. (1999). Politik Indonesia:Transisi
menuju demokrasi. Yogyakarta: Pustaaka Pelajar.
Hanan,
D. (2014). Menakar presidensialisme
multipartai di Indonesia: Upaya mencari format
demokrasi
yang stabil dan dinamis dalam konteks Indonesia. Bandung:
PT Mizan Publika.
Linz,
J. J. (1994). Presidential or
parliementary democracy: Does it make a difference? In J. J
Linz & A.Valenzuela(Eds). Baltimore and London:The
John Hopkins University Press.
Linz,
J. J (1990). The perils of
presidentialism. Journal of democracy, winter, 51-69.
Mainwaring,
S. (1997). Multipartism, robust
federalism, and presidentialism in Brazil. In S.
Mainwaring & M.S. Shugart (Eds.). Cambridge:
Cambridge University Press.
Mainwaring,
S. (1993). Presidentialismm multipartiism, and democracy: The difficult
combination. Comparative
Political Studies, 26(2), 198-228.
Yudhoyono,
S. B. (2014). Selalu ada pilihan.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
[1] Lihat, misalnya Sukardi Rinakit
(Kompas. 16 Februari 2010) dan Hanta Yudha AR (2010).
[2] Scott
Mainwairing, Presidentialism, Multyparty System and Democracy: A
Difficult Combination, dalam Robert A. Dahl, Ian Shapiro dan Jose Antonio
Cheibub, The Democracy Source Book, (Cambridge: The MIT Press, 2003),
hlm. 266-271.