Blogroll

Total Tayangan Halaman

POLITK IDENTITAS ETNIS DALAM PEMILUKADA KOTA KENDARI

00.57 |

Politik identitas [etnis] merupakan topik yang sangat menarik di bahas menjelang akan diselenggarakannya pemilihan walikota di kota kendari, karena agar bisa meluruskan jalan untuk memenangkan pertarungan, maka bakal calon walikota dan wakil walikota haruslah berasal dari dua gabungan etnis mayoritas yang berada di kota kendari semisal gabungan Tolaki-Bugis. Adapun etnis mayoritas di Kota Kendari sendiri berjumlah 4 etnis besar antara lain: Tolaki, Bugis, Buton dan Muna. Hal tersebut dikarenakan mayoritas masyarakat kendari yang terdiri dari berbagai ragam etnis cenderung masih memilih berdasarkan identitas [etnis] asalnya, bukan melihat dari apa partainya maupun figur yang akan mencalonkan diri. Dengan munculnya wacana politik etnis dalam ranah politik daerah terutama dalam proses demokrasi ditingkat lokal, yakni pada pilkada langsung dimana elit yang mencalonkan diri sebagai bakal kandidat juga lebih cenderung memilih pasangan mereka berdasarkan representasi jumlah etnis untuk menggalang solidaritas etnis di daerahnya.
Secara teoritis politik identitas adalah sesuatu yang bersifat hidup atau ada dalam setiap etnis, di mana keberadaanya bersifat laten dan potensial, dan sewaktu-waktu dapat muncul ke permukaan sebagai kekuatan politik yang dominan. Secara empiris, politik identitas merupakan aktualisasi partisipasi politik yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat, dan mengalami proses internalisasi secara terus-menerus di dalam kebudayaan masyarakatnya dalam suatu jalinan interaksi sosial. Politik identitas merupakan suatu alat perjuangan politik suatu etnis untuk mencapai suatu tujuan bersama yang di dasari atas ikatan batin sesama etnis yang kuat dan dimanfaatkan oleh seorang aktor untuk mendapatkan ruang politik dengan mengatasnamakan etnisnya. Kristianus (2009:255) mengemukakan bahwa “politik identitas berkaitan dengan perebutan kekuasaan politik berdasarkan identitas etnis maupun agama”. Politik identitas adalah tindakan politik untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan.
Lebih dari satu dekade, desentralisasi melalui otonomi daerah berlangsung di negeri ini. Di samping dampak positif yang telah diberikan (seperti kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik, inovasi dan kreativitas pemerintah daerah dalam melakukan tata kelola pemerintahan dan akses terhadap sumber-sumber ekonomi), desentralisasi juga tak pelak memberikan dampak negatif, seperti maraknya politik uang (money politics) dalam praktik pemilihan kepala daerah (pilkada), tumbuh suburnya praktik shadow state dan rent seeking, “meratanya  praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dan kanalisasi politik identitas[etnis]. Tentang dampak negatif tersebut, berbagai studi mempertegas bahwa kebijakan desentralisasi dengan pilihan demokrasi liberal telah menjadi pintu “masuk” kebangkitan politik identitas [etnis] yang menempatkan dominasi etnisitas tertentu terhadap etnisitas lainnya di berbagai arena. Begitupun di arena politik, khususnya pemilihan walikota di kota kendari. Identitas etnik direproduksi sebagai doxa isu “putra daerah” yang kebanyakan dilakukan elit lokal untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan politiknya.
Tentang hal ini, Eindhoven (2007:100-104) tegas menyatakan momentum reformasi telah menghantarkan para elit lokal mengonsolidasikan kekuatan [identitas] etnik untuk menolak kepala daerah yang berasal dari non-etniknya. Damanhuri (2009:92-95) mengigatkan kemunculan kelompok gerakan kedaerahan di era otonomi daerah yang dapat menjadi persoalan serius bagi indonesia sebagai nation-state akan teratasi apabila keadilan daerah ditegakkan secara sosial, ekonomi dan budaya, serta adanya kepastian dan rasa keadilan hukum serta pemerintahan.
Merucut dari masalah yang sudah di jelaskan di atas, maka ramalan Furnivall tiga abad yang lalu menjadi relevan dan merupakan persoalan sekaligus ancaman serius bagi indonesia sebagai nation-state.[1] Walaupun funding futher negara ini melalui pembukaan Undang-undang dasar (UUD) 1945 telah menegaskan pembentukan negara Indonesia bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Rupanya kemajemukan sebagai kondisi obyektif yang harus diperlakukan sama adalah keniscayaan yang membutuhkan waktu dan pendekatan yang tepat.

Penelitian mengenai Politik  identitas sudah banyak dilakukan oleh para peneliti, disini saya akan menjelaskan beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan mengenai hal tersebut. Penelitian tentang politik identitas adalah Hasil  disertasi Doktor bidang Ilmu Politik Universitas Padjajaran dengan judul “Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas”. Penelitian dilakukan di 5 kabupaten di Kalimantan Barat yakni Kabupaten Landak, Bengkayang, Sintang, Sanggau, dan Sekadau.  Dalam disertasinya yang telah dibukukan kita diajak untuk melihat realita identitas di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat. Marjinalisasi yang dialami suku Dayak di Kalimantan Barat, bahkan semenjak masa penjajahan Belanda, membuat mereka memiliki ikatan Primordial dan emosional sesama etnis yang tinggi. Perlakuan yang berbeda dalam aspek pembangunan, pendidikan, serta kesehatan membangkitkan semangat putra Dayak untuk memperjuangkan hak-hak dengan cara berkonsolidasi memilih tokoh Dayak demi kesejahteraan masyarakat mereka. Semangat kebangkitan suku Dayak inilah yang melatarbelakangi Dr. Sri Astuti Buchari, M.Si menuliskan buku ini.
Menurut Sri Astuti, etnis Dayak adalah etnis yang pendiam, halus, dan cenderung introvert. Akan tetapi mereka menjadi masyarakat inferior karena dianggap sebagai kuli, pemalas, dan tidak produktif. Mereka cenderung termarjinalkan dan didiskriminasi. Hal ini membuat mereka tidak mendapatkan kesejahteraan yang layak. Meski demikian, ikatan emosional di antara mereka semakin erat dan kuat. Ikatan komunal Dayak yang erat dibuktikan dengan munculnya identitas kelompok di mana Dayak mengasosiasikan diri dengan agama Kristiani. Apabila anggota kelompok mereka memeluk agama Islam, dia tidak lagi dianggap sebagai bagian dari etnis Dayak.
Politik identitas muncul sebagai cara bagi masyarakat Dayak untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Politik identitas mengacu pada tindakan politik yang mengedepankan kesamaan identitas atau karakteristik yang berbasis pada ras, etnis, jender, atau agama. Dalam kasus ini, masyarakat Dayak berkonsolidasi untuk memilih dan memenangkan tokoh Dayak untuk memimpin sebagai Gubernur pada Pilkada Gubernur Kalimantan Barat tahun 2007. Sri Astuti juga mengatakan bahwa politik identitas adalah penting dilakukan di tempat tertentu dalam konteks memperjuangkan hak dan kesejahteraan masyarakat, asalkan mereka tidak menjadi etnosentrisme. Adanya demokrasi dan desentralisasi di era reformasi ini juga membuka kesempatan bagi tokoh Dayak karena orang lokal-lah yang memahami kebutuhan masyarakatnya sendiri. Berkaitan dengan hal diatas penelitian yang akan saya lakukan di Kota Kendari memiliki 4 Etnis besar yang masing-masing etnis trsebut juga memiliki ikatan batin yang kuat antar sesamanya, apalagi jika menjelang Pilkada untuk mendapatkan ruang politik. Masing-masing etnis tersebut sibuk memperjuangkan atas nama etnisnya atau mengedepankan kesamaan etnis. Hal inilah yang menjadi sangat menarik untuk di bedah kedepan.
Gejala politik identitas  pada dasarnya hadir di setiap daerah khususnya diluar jawa. Berbagai kajian pun telah banyak dilakukan oleh banyak pakar dan ilmuan untuk mencari solusi dari realitas tersebut. Khususnya kajian-kajian tentang etnis dan partai-partai politk lokal. Salah satunya adalah buku berjudul Politik Identitas Etnis; Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, yang di tulis Ubed Abdillah. Pembahasan buku ini difokuskan pada realitas keragaman etnis pada kajian politik etnis, pola politiknya sepanjang sejarah secara umum, sampai bagaimana dengan peran etnis dalam kanca globalisme dan post-modernisme. Kajian politik identitas dalam buku ini terfokus pada permasalahan yang menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi fisik tubuh, agama, kepercayaan dan bahasa.[1]
Penelitian terakhir yang paling relevan dengan tema punulis adalah buku tentang  Politik Etnik; Dinamika Politik Lokal di Kendari, Disertasi yang ditulis oleh Doktor Sosiologi Perdesaan IPB ini bercerita mengenai dinamika politik di kendari namun dilihat dari sudut Arena Ekonomi Politik lokal. Arena ekonomi politik lokal adalah kondisi obyektif dimana terjadi pertarungan antar aktor untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi dengan kekuasaan (politik) atau sebaliknya di tingkat lokal. Istilah pertarungan diambil dari definisi arena yang dirujuk dari pendapat Bourdieu (Boudieu dan Wacquant 1992). Menurutnya arena adalah field of struggle, di mana para aktor berjuang meningkatkan posisi objektif mereka. Karena berada di arena pertarungan,[2] para aktor menerapkan berbagai strategi, yaitu “the active deployment of objectively oriented ‘'lines of action’ that obey regularities and form coherent and socially intelligible patterns” (Wacquant 1992: 25). Namun, pilihan-pilihan strategi yang tersedia bagi aktor dibatasi kondisi objektif mereka di arena. Di arena, terdapat distribusi modal[3] tertentu dan cara pandang mereka terhadap arena tersebut (Bourdieu dan Wacquant 1992). Hal ini dikarenakan di dalam arena masing-masing memiliki aturan. Adapun aturan yang dimaksud adalah aturan yang berlaku dalam arena ekonomi politik. Agar pemahaman menjadi utuh tentang arena ekonomi politik lokal, maka konsepsi teoritik Granovetter[4] (sosiologi ekonomi baru) dan Nordholt dan Klinken[5] (politik lokal) menjadi diskursus yang menarik. Diskursus diorientasikan untuk menemukenali konteks arena ekonomi politik lokal yang di dalamnya terdapat aturan-aturan.
 Penelitian tersebut menggunakan metodologi kualitatif berparadigma nonpositivistik. Sifat penelitian adalah subyektivisme, obyektivisme, dan historis yang dijadikan sebagai panduan menentukan responden. Agar terhindar dari jebakan subyektivisme versus obyektivisme, peneliti menggunakan perspektif strukturalisme-konstruktivisme. Strukturalis dimaksudkan bahwa sosiologi berusaha mencari proses pola relasi yang bekerja dibelakang aktor, sedangkan konstruktivisme berarti sosiologi menyelidiki persepsi common sense dan tindakan aktor. Dengan demikian, membaca aktor harus bolak balik antara struktur obyektif dan subyektif (Mutahir, 2011: 56). Penggunaan perspektif strukturalisme-konstruktivisme juga ditujukan agar pembacaan realitas sosial oleh peneliti mencerminkan sebuah proses dialektika internalisasi-eksternalitas dan eksternalisasi-internalitas. Proses dialektika tersebut adalah upaya memahami struktur obyektif yang ada di luar pelaku sosial (eksterior) dan segala sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial (interior).



0 komentar:

Posting Komentar