Politik
identitas [etnis] merupakan topik yang sangat menarik di bahas menjelang akan
diselenggarakannya pemilihan walikota di kota kendari, karena agar bisa
meluruskan jalan untuk memenangkan pertarungan, maka bakal calon walikota dan
wakil walikota haruslah berasal dari dua gabungan etnis mayoritas yang berada
di kota kendari semisal gabungan Tolaki-Bugis. Adapun etnis mayoritas di Kota
Kendari sendiri berjumlah 4 etnis besar antara lain: Tolaki, Bugis, Buton dan
Muna. Hal tersebut dikarenakan mayoritas masyarakat kendari yang terdiri dari
berbagai ragam etnis cenderung masih memilih berdasarkan identitas [etnis]
asalnya, bukan melihat dari apa partainya maupun figur yang akan mencalonkan
diri. Dengan munculnya wacana politik etnis dalam ranah politik daerah terutama
dalam proses demokrasi ditingkat lokal, yakni pada pilkada langsung dimana elit
yang mencalonkan diri sebagai bakal kandidat juga lebih cenderung memilih
pasangan mereka berdasarkan representasi jumlah etnis untuk menggalang
solidaritas etnis di daerahnya.
Secara
teoritis politik identitas adalah sesuatu yang bersifat hidup atau ada dalam
setiap etnis, di mana keberadaanya bersifat laten dan potensial, dan sewaktu-waktu
dapat muncul ke permukaan sebagai kekuatan politik yang dominan. Secara
empiris, politik identitas merupakan aktualisasi partisipasi politik yang
terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat, dan mengalami proses
internalisasi secara terus-menerus di dalam kebudayaan masyarakatnya dalam
suatu jalinan interaksi sosial. Politik identitas merupakan suatu alat
perjuangan politik suatu etnis untuk mencapai suatu tujuan bersama yang di
dasari atas ikatan batin sesama etnis yang kuat dan dimanfaatkan oleh seorang
aktor untuk mendapatkan ruang politik dengan mengatasnamakan etnisnya.
Kristianus (2009:255) mengemukakan bahwa “politik identitas berkaitan dengan
perebutan kekuasaan politik berdasarkan identitas etnis maupun agama”. Politik
identitas adalah tindakan politik untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan
dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau
karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan.
Lebih
dari satu dekade, desentralisasi melalui otonomi daerah berlangsung di negeri
ini. Di samping dampak positif yang telah diberikan (seperti kebebasan pers,
kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik, inovasi dan kreativitas
pemerintah daerah dalam melakukan tata kelola pemerintahan dan akses terhadap
sumber-sumber ekonomi), desentralisasi juga tak pelak memberikan dampak
negatif, seperti maraknya politik uang (money
politics) dalam praktik pemilihan kepala daerah (pilkada), tumbuh suburnya
praktik shadow state dan rent seeking, “meratanya”
praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dan kanalisasi politik
identitas[etnis]. Tentang dampak negatif tersebut, berbagai studi mempertegas
bahwa kebijakan desentralisasi dengan pilihan demokrasi liberal telah menjadi
pintu “masuk” kebangkitan politik identitas [etnis] yang menempatkan dominasi
etnisitas tertentu terhadap etnisitas lainnya di berbagai arena. Begitupun di
arena politik, khususnya pemilihan walikota di kota kendari. Identitas etnik direproduksi
sebagai doxa isu “putra daerah” yang
kebanyakan dilakukan elit lokal untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan
politiknya.
Tentang
hal ini, Eindhoven (2007:100-104) tegas menyatakan momentum reformasi telah
menghantarkan para elit lokal mengonsolidasikan kekuatan [identitas] etnik
untuk menolak kepala daerah yang berasal dari non-etniknya. Damanhuri
(2009:92-95) mengigatkan kemunculan kelompok gerakan kedaerahan di era otonomi
daerah yang dapat menjadi persoalan serius bagi indonesia sebagai nation-state akan teratasi apabila
keadilan daerah ditegakkan secara sosial, ekonomi dan budaya, serta adanya
kepastian dan rasa keadilan hukum serta pemerintahan.
Merucut dari masalah yang sudah di jelaskan di atas,
maka ramalan Furnivall tiga abad yang lalu menjadi relevan dan merupakan
persoalan sekaligus ancaman serius bagi indonesia sebagai nation-state.[1]
Walaupun funding futher negara ini
melalui pembukaan Undang-undang dasar (UUD) 1945 telah menegaskan pembentukan
negara Indonesia bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia. Rupanya kemajemukan sebagai kondisi obyektif yang harus
diperlakukan sama adalah keniscayaan yang membutuhkan waktu dan pendekatan yang
tepat.
Penelitian
mengenai Politik identitas sudah banyak
dilakukan oleh para peneliti, disini saya akan menjelaskan beberapa penelitian
yang sudah pernah dilakukan mengenai hal tersebut. Penelitian tentang politik
identitas adalah Hasil disertasi
Doktor bidang Ilmu Politik Universitas Padjajaran dengan judul “Kebangkitan
Etnis Menuju Politik Identitas”. Penelitian dilakukan di 5 kabupaten di
Kalimantan Barat yakni Kabupaten Landak, Bengkayang, Sintang, Sanggau, dan
Sekadau. Dalam disertasinya yang
telah dibukukan kita diajak untuk melihat realita identitas di Indonesia,
khususnya di Kalimantan Barat. Marjinalisasi yang dialami suku Dayak di
Kalimantan Barat, bahkan semenjak masa penjajahan Belanda, membuat mereka
memiliki ikatan Primordial dan emosional sesama etnis yang tinggi. Perlakuan
yang berbeda dalam aspek pembangunan, pendidikan, serta kesehatan membangkitkan
semangat putra Dayak untuk memperjuangkan hak-hak dengan cara berkonsolidasi
memilih tokoh Dayak demi kesejahteraan masyarakat mereka. Semangat kebangkitan
suku Dayak inilah yang melatarbelakangi Dr. Sri Astuti Buchari, M.Si menuliskan
buku ini.
Menurut
Sri Astuti, etnis Dayak adalah etnis yang pendiam, halus, dan cenderung
introvert. Akan tetapi mereka menjadi masyarakat inferior karena dianggap
sebagai kuli, pemalas, dan tidak produktif. Mereka cenderung termarjinalkan dan
didiskriminasi. Hal ini membuat mereka tidak mendapatkan kesejahteraan yang
layak. Meski demikian, ikatan emosional di antara mereka semakin erat dan kuat.
Ikatan komunal Dayak yang erat dibuktikan dengan munculnya identitas kelompok
di mana Dayak mengasosiasikan diri dengan agama Kristiani. Apabila anggota
kelompok mereka memeluk agama Islam, dia tidak lagi dianggap sebagai bagian
dari etnis Dayak.
Politik
identitas muncul sebagai cara bagi masyarakat Dayak untuk mencapai
kesejahteraan tersebut. Politik identitas mengacu pada tindakan politik yang
mengedepankan kesamaan identitas atau karakteristik yang berbasis pada ras,
etnis, jender, atau agama. Dalam kasus ini, masyarakat Dayak berkonsolidasi
untuk memilih dan memenangkan tokoh Dayak untuk memimpin sebagai Gubernur pada
Pilkada Gubernur Kalimantan Barat tahun 2007. Sri Astuti juga mengatakan bahwa
politik identitas adalah penting dilakukan di tempat tertentu dalam konteks
memperjuangkan hak dan kesejahteraan masyarakat, asalkan mereka tidak menjadi
etnosentrisme. Adanya demokrasi dan desentralisasi di era reformasi ini juga
membuka kesempatan bagi tokoh Dayak karena orang lokal-lah yang memahami
kebutuhan masyarakatnya sendiri. Berkaitan dengan hal diatas penelitian yang
akan saya lakukan di Kota Kendari memiliki 4 Etnis besar yang masing-masing
etnis trsebut juga memiliki ikatan batin yang kuat antar sesamanya, apalagi
jika menjelang Pilkada untuk mendapatkan ruang politik. Masing-masing etnis
tersebut sibuk memperjuangkan atas nama etnisnya atau mengedepankan kesamaan
etnis. Hal inilah yang menjadi sangat menarik untuk di bedah kedepan.
Gejala
politik identitas pada dasarnya hadir di
setiap daerah khususnya diluar jawa. Berbagai kajian pun telah banyak dilakukan
oleh banyak pakar dan ilmuan untuk mencari solusi dari realitas tersebut.
Khususnya kajian-kajian tentang etnis dan partai-partai politk lokal. Salah
satunya adalah buku berjudul Politik
Identitas Etnis; Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, yang di tulis Ubed
Abdillah. Pembahasan buku ini difokuskan pada realitas keragaman etnis pada
kajian politik etnis, pola politiknya sepanjang sejarah secara umum, sampai
bagaimana dengan peran etnis dalam kanca globalisme dan post-modernisme. Kajian
politik identitas dalam buku ini terfokus pada permasalahan yang menyangkut
perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi fisik tubuh, agama, kepercayaan
dan bahasa.[1]
Penelitian
terakhir yang paling relevan dengan tema punulis adalah buku tentang Politik
Etnik; Dinamika Politik Lokal di
Kendari, Disertasi yang ditulis oleh Doktor Sosiologi Perdesaan IPB ini
bercerita mengenai dinamika politik di kendari namun dilihat dari sudut Arena Ekonomi
Politik lokal. Arena ekonomi politik lokal adalah kondisi obyektif dimana
terjadi pertarungan antar aktor untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi
dengan kekuasaan (politik) atau sebaliknya di tingkat lokal. Istilah pertarungan
diambil dari definisi arena yang dirujuk dari pendapat Bourdieu (Boudieu dan
Wacquant 1992). Menurutnya arena adalah field of struggle, di mana para
aktor berjuang meningkatkan posisi objektif mereka. Karena berada di arena
pertarungan,[2] para
aktor menerapkan berbagai strategi, yaitu “the active deployment of objectively
oriented ‘'lines of action’ that obey regularities and form coherent and
socially intelligible patterns” (Wacquant 1992: 25). Namun, pilihan-pilihan
strategi yang tersedia bagi aktor dibatasi kondisi objektif mereka di arena. Di
arena, terdapat distribusi modal[3]
tertentu dan cara pandang mereka terhadap arena tersebut (Bourdieu dan Wacquant
1992). Hal ini dikarenakan di dalam arena masing-masing memiliki aturan. Adapun
aturan yang dimaksud adalah aturan yang berlaku dalam arena ekonomi politik.
Agar pemahaman menjadi utuh tentang arena ekonomi politik lokal, maka konsepsi
teoritik Granovetter[4]
(sosiologi ekonomi baru) dan Nordholt dan Klinken[5]
(politik lokal) menjadi diskursus yang menarik. Diskursus diorientasikan untuk
menemukenali konteks arena ekonomi politik lokal yang di dalamnya terdapat
aturan-aturan.
Penelitian tersebut menggunakan metodologi
kualitatif berparadigma nonpositivistik. Sifat penelitian adalah subyektivisme,
obyektivisme, dan historis yang dijadikan sebagai panduan menentukan responden.
Agar terhindar dari jebakan subyektivisme versus obyektivisme, peneliti
menggunakan perspektif strukturalisme-konstruktivisme. Strukturalis dimaksudkan
bahwa sosiologi berusaha mencari proses pola relasi yang bekerja dibelakang
aktor, sedangkan konstruktivisme berarti sosiologi menyelidiki persepsi common
sense dan tindakan aktor. Dengan demikian, membaca aktor harus bolak balik
antara struktur obyektif dan subyektif (Mutahir, 2011: 56). Penggunaan
perspektif strukturalisme-konstruktivisme juga ditujukan agar pembacaan
realitas sosial oleh peneliti mencerminkan sebuah proses dialektika
internalisasi-eksternalitas dan eksternalisasi-internalitas. Proses dialektika
tersebut adalah upaya memahami struktur obyektif yang ada di luar pelaku sosial
(eksterior) dan segala sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial (interior).
0 komentar:
Posting Komentar