Blogroll

Total Tayangan Halaman

POSITIVISME & POST-POSITIVISME MIRIP TAPI BERBEDA

01.05 |

POSITIVISME
Pendekatan positivisme digagas oleh filsuf Auguste Comte. Pendekatan positivisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan lahir dan berkembang melalui pengamatan objek yang positif, artinya objek tersebut dapat ditangkap dengan pancaindra manusia. Menurut Comte, proses pencarian kebenaran  harus dilakukan melalui penelitian yang didasarkan pada fakta-fakta yang ada.[1] Comte juga mengklarifikasikan ilmu kedalam enam bidang. Fisika sosial(sosiologi) digolongkan sebagai urutan tertinggi bidang keilmuan. Ilmu sosial dianggapnya sebagai ilmu yang paling kompleks, kongkret, khusus, dan berkaitan dengan kehidupan manusia dan kelompoknya.[2] Mengembangkan pemikiran Comte, pada akhir tahun 1903, para ilmuwan politik positivis melakukan pertemuan ilmuwan-ilmuwan sosial positivis yang disebut New Orleans Meeting. Pertemuan tersebut membentuk asosiasi ilmuwan politik positivis yang bernama American Politics Science Association(APSA). Para ilmuwan APSA menginginkan ilmu politik dapat menjadi ilmu yang benar-benar sains layaknya ilmu-ilmu eksak(fisika, matematika, kimia, dll).[3] Sebab, hanya dengan cara itulah ilmu politik dapat berkembang pesat layaknya natural sciences lainnya.
Positivisme (menurut david hume) adalah berasal dari intelektual dan empirisisme Inggris klasik adalah pelopor tradisi ini. Mereka percaya bahwa pengetahuan adalah berdasarkan pengalaman dan pengamatan objektif dari dunia empiris, dan harus diverifikasi dengan ketat prosedur pengujian ilmiah. Positivisme dipeluk oleh behaviorialistis yang berfokus pada perilaku actor politik  yang sebenarnya, bukan pada aturan-aturan formal dan percaya bahwa metode ilmiah alam bisa mengubah studi politik menjadi “benar-benar” ilmu pengetahuan.
David Marsh dan Paul Furlong menjelaskan bahwa positivisme memiliki beberapa karakteristik, mulai dari segi ontologi dan epistimologi. Secara Ontologi, Menurut Marsh dan Furlong, dalam positivistik konsepsi tentang realitas sosial adalah natural(Foundationalist).[4] Artinya realitas sosial tidak perlu direkayasa, ataupun dikonstruksi karena sudah ada sebagaimana mestinya. Positivistik melihat bahwa semua hal yang terlihat dan diucapkan merupakan realitas sosial yang observable. Artinya aspek-aspek yang tak tampak(unobservable) dapat diabaikan. Sebab itu, positivistik mengenal istilah realitiy is a sweater.[5] Disisi ontologi yang lain, dalam positivis semua penjelasan ilmiah haruslah bersifat sebab-akibat(causal). Positivis percaya tidak ada gejala alam ataupun yang bersifat isolatif, kebetulan, atau insidental, karena semuanya sudah diatur dalam hukum alam ataupun sosial.[6]
Positivisme juga memiliki beberapa karakter dalam aspek epistimologi. Karakter-karakter ini akan menjawab pertanyaan, tentang apa yang dapat kita ketahui mengenai realitas sosial dan bagaimana kita bisa mengetahui itu? Positivis memiliki elemen keilmiahan yang sangat valid dan handal. Penemuan ilmu positivistik dapat diuji berkali-kali untuk membuat klaim kebenaran. Hal ini mudah saja, karena positivis dapat mengamati semua realitas yang nampak luar (observable). Adapula tujuan penelitian dalam positivis adalah menjelaskan realitas, artinya membuat ide, situasi yang jelas, dengan menggambarkan secara lebih detail atau mengungkapkan fakta dan gagasan yang relevan dengan realitas sosial. Kemudian, karakteristik diatas membuat klaim kebenaran positivis dapat diklaim secara universal dan di generalisir pada kasus lain, apabila terlihat gejala sosial yang sama.
Positivis juga memiliki ketentuan khusus yaitu menggunakan teori sebagai alat yang netral. Sebab itu ilmuwan positivis haruslah bersifat objektif dan tidak terlibat terhadap realitas sosial. Karakter tersebut membuat ilmuwan positivis harus berjarak dan tidak terlibat dalam meneliti realitas sosial. Karakteristik lain positivis adalah menggunakan logika berpikir deduktif(umum-khusus). Hakikat dari logika deduktif adalah sebuah premis dapat digunakan untuk meramalkan konklusi secara logis ataupun sekedar mengkonfirmasi kebenaran teori.
POST-POSITIVISME
Munculnya gugatan terhadap positivisme  di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.
Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran post-positivisme bersifat critical realism dan menganggap bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti. Secara epistomologis: Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Secara metodologis adalah modified experimental/ manipulatif.
Observasi yang didewakan positivisme dipertanyakan netralitasnya, karena observasi dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang. Proses dari positivisme ke post-positivisme melalui kritikan dari tiga hal yaitu :
1) Observasi sebagai unsur utama metode penelitian,
2) Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat memiliki sudut pandang yang berbeda dan teori harus mengalah pada perbedaan waktu,
3) Tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis (Salim, 2001).
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
PARADIGMA POST-POSITIVISME
1. PARADIGMA
Dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan memegang peranan yang penting. Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan. Menurut Thomas Kuhn, paradigma sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah.
Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma sebagai: “Basic belief system or worldview that guides the investigator, not only in choices of method but in ontologically and epistomologically fundamental ways.”Pengertian tersebut mengandung makna paradigma adalah sistem keyakinan dasar atau cara memandang dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metoda tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis dan epistomologis. 

ASUMSI DASAR POST POSITIVISME
1.      Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
2.       Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
3.      Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
4.      Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah.
5.      Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
6.      Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
7.      Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.
Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain.[7]




[1] Purwo Santoso, Membedah Metodologi Ilmu Politik, UGM, Yogyakarta, 2012
[2] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Bab III, Hal 87
[3] William Rose, Positivism and Its Critique, London:  Sage Publications, 2011, Hal 459
[4] David Marsh dan Paul Furlong, Ontology and Epistimology Marsh, A Skin not a Sweater: Ontology and Epistemology in. Political Science, 2002, Hal 18
[5] Realitas sosial adalah semua hal yang nampak
[6] Afan Gaffar, Dua tradisi, Yogyakarta, 1989, Hal 4, Bahan ajar mata kuliah Skope dan Metodologi Ilmu Politik
[7] Purwo Santoso. 2014. Cakupan dan Metodologi Ilmu Politik. Yogyakarta: UGM. Materi merupakan bahan ajar Mata Kuliah CMIP 2014
Read More

POLITK IDENTITAS ETNIS DALAM PEMILUKADA KOTA KENDARI

00.57 |

Politik identitas [etnis] merupakan topik yang sangat menarik di bahas menjelang akan diselenggarakannya pemilihan walikota di kota kendari, karena agar bisa meluruskan jalan untuk memenangkan pertarungan, maka bakal calon walikota dan wakil walikota haruslah berasal dari dua gabungan etnis mayoritas yang berada di kota kendari semisal gabungan Tolaki-Bugis. Adapun etnis mayoritas di Kota Kendari sendiri berjumlah 4 etnis besar antara lain: Tolaki, Bugis, Buton dan Muna. Hal tersebut dikarenakan mayoritas masyarakat kendari yang terdiri dari berbagai ragam etnis cenderung masih memilih berdasarkan identitas [etnis] asalnya, bukan melihat dari apa partainya maupun figur yang akan mencalonkan diri. Dengan munculnya wacana politik etnis dalam ranah politik daerah terutama dalam proses demokrasi ditingkat lokal, yakni pada pilkada langsung dimana elit yang mencalonkan diri sebagai bakal kandidat juga lebih cenderung memilih pasangan mereka berdasarkan representasi jumlah etnis untuk menggalang solidaritas etnis di daerahnya.
Secara teoritis politik identitas adalah sesuatu yang bersifat hidup atau ada dalam setiap etnis, di mana keberadaanya bersifat laten dan potensial, dan sewaktu-waktu dapat muncul ke permukaan sebagai kekuatan politik yang dominan. Secara empiris, politik identitas merupakan aktualisasi partisipasi politik yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat, dan mengalami proses internalisasi secara terus-menerus di dalam kebudayaan masyarakatnya dalam suatu jalinan interaksi sosial. Politik identitas merupakan suatu alat perjuangan politik suatu etnis untuk mencapai suatu tujuan bersama yang di dasari atas ikatan batin sesama etnis yang kuat dan dimanfaatkan oleh seorang aktor untuk mendapatkan ruang politik dengan mengatasnamakan etnisnya. Kristianus (2009:255) mengemukakan bahwa “politik identitas berkaitan dengan perebutan kekuasaan politik berdasarkan identitas etnis maupun agama”. Politik identitas adalah tindakan politik untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan.
Lebih dari satu dekade, desentralisasi melalui otonomi daerah berlangsung di negeri ini. Di samping dampak positif yang telah diberikan (seperti kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik, inovasi dan kreativitas pemerintah daerah dalam melakukan tata kelola pemerintahan dan akses terhadap sumber-sumber ekonomi), desentralisasi juga tak pelak memberikan dampak negatif, seperti maraknya politik uang (money politics) dalam praktik pemilihan kepala daerah (pilkada), tumbuh suburnya praktik shadow state dan rent seeking, “meratanya  praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dan kanalisasi politik identitas[etnis]. Tentang dampak negatif tersebut, berbagai studi mempertegas bahwa kebijakan desentralisasi dengan pilihan demokrasi liberal telah menjadi pintu “masuk” kebangkitan politik identitas [etnis] yang menempatkan dominasi etnisitas tertentu terhadap etnisitas lainnya di berbagai arena. Begitupun di arena politik, khususnya pemilihan walikota di kota kendari. Identitas etnik direproduksi sebagai doxa isu “putra daerah” yang kebanyakan dilakukan elit lokal untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan politiknya.
Tentang hal ini, Eindhoven (2007:100-104) tegas menyatakan momentum reformasi telah menghantarkan para elit lokal mengonsolidasikan kekuatan [identitas] etnik untuk menolak kepala daerah yang berasal dari non-etniknya. Damanhuri (2009:92-95) mengigatkan kemunculan kelompok gerakan kedaerahan di era otonomi daerah yang dapat menjadi persoalan serius bagi indonesia sebagai nation-state akan teratasi apabila keadilan daerah ditegakkan secara sosial, ekonomi dan budaya, serta adanya kepastian dan rasa keadilan hukum serta pemerintahan.
Merucut dari masalah yang sudah di jelaskan di atas, maka ramalan Furnivall tiga abad yang lalu menjadi relevan dan merupakan persoalan sekaligus ancaman serius bagi indonesia sebagai nation-state.[1] Walaupun funding futher negara ini melalui pembukaan Undang-undang dasar (UUD) 1945 telah menegaskan pembentukan negara Indonesia bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Rupanya kemajemukan sebagai kondisi obyektif yang harus diperlakukan sama adalah keniscayaan yang membutuhkan waktu dan pendekatan yang tepat.

Penelitian mengenai Politik  identitas sudah banyak dilakukan oleh para peneliti, disini saya akan menjelaskan beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan mengenai hal tersebut. Penelitian tentang politik identitas adalah Hasil  disertasi Doktor bidang Ilmu Politik Universitas Padjajaran dengan judul “Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas”. Penelitian dilakukan di 5 kabupaten di Kalimantan Barat yakni Kabupaten Landak, Bengkayang, Sintang, Sanggau, dan Sekadau.  Dalam disertasinya yang telah dibukukan kita diajak untuk melihat realita identitas di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat. Marjinalisasi yang dialami suku Dayak di Kalimantan Barat, bahkan semenjak masa penjajahan Belanda, membuat mereka memiliki ikatan Primordial dan emosional sesama etnis yang tinggi. Perlakuan yang berbeda dalam aspek pembangunan, pendidikan, serta kesehatan membangkitkan semangat putra Dayak untuk memperjuangkan hak-hak dengan cara berkonsolidasi memilih tokoh Dayak demi kesejahteraan masyarakat mereka. Semangat kebangkitan suku Dayak inilah yang melatarbelakangi Dr. Sri Astuti Buchari, M.Si menuliskan buku ini.
Menurut Sri Astuti, etnis Dayak adalah etnis yang pendiam, halus, dan cenderung introvert. Akan tetapi mereka menjadi masyarakat inferior karena dianggap sebagai kuli, pemalas, dan tidak produktif. Mereka cenderung termarjinalkan dan didiskriminasi. Hal ini membuat mereka tidak mendapatkan kesejahteraan yang layak. Meski demikian, ikatan emosional di antara mereka semakin erat dan kuat. Ikatan komunal Dayak yang erat dibuktikan dengan munculnya identitas kelompok di mana Dayak mengasosiasikan diri dengan agama Kristiani. Apabila anggota kelompok mereka memeluk agama Islam, dia tidak lagi dianggap sebagai bagian dari etnis Dayak.
Politik identitas muncul sebagai cara bagi masyarakat Dayak untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Politik identitas mengacu pada tindakan politik yang mengedepankan kesamaan identitas atau karakteristik yang berbasis pada ras, etnis, jender, atau agama. Dalam kasus ini, masyarakat Dayak berkonsolidasi untuk memilih dan memenangkan tokoh Dayak untuk memimpin sebagai Gubernur pada Pilkada Gubernur Kalimantan Barat tahun 2007. Sri Astuti juga mengatakan bahwa politik identitas adalah penting dilakukan di tempat tertentu dalam konteks memperjuangkan hak dan kesejahteraan masyarakat, asalkan mereka tidak menjadi etnosentrisme. Adanya demokrasi dan desentralisasi di era reformasi ini juga membuka kesempatan bagi tokoh Dayak karena orang lokal-lah yang memahami kebutuhan masyarakatnya sendiri. Berkaitan dengan hal diatas penelitian yang akan saya lakukan di Kota Kendari memiliki 4 Etnis besar yang masing-masing etnis trsebut juga memiliki ikatan batin yang kuat antar sesamanya, apalagi jika menjelang Pilkada untuk mendapatkan ruang politik. Masing-masing etnis tersebut sibuk memperjuangkan atas nama etnisnya atau mengedepankan kesamaan etnis. Hal inilah yang menjadi sangat menarik untuk di bedah kedepan.
Gejala politik identitas  pada dasarnya hadir di setiap daerah khususnya diluar jawa. Berbagai kajian pun telah banyak dilakukan oleh banyak pakar dan ilmuan untuk mencari solusi dari realitas tersebut. Khususnya kajian-kajian tentang etnis dan partai-partai politk lokal. Salah satunya adalah buku berjudul Politik Identitas Etnis; Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, yang di tulis Ubed Abdillah. Pembahasan buku ini difokuskan pada realitas keragaman etnis pada kajian politik etnis, pola politiknya sepanjang sejarah secara umum, sampai bagaimana dengan peran etnis dalam kanca globalisme dan post-modernisme. Kajian politik identitas dalam buku ini terfokus pada permasalahan yang menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi fisik tubuh, agama, kepercayaan dan bahasa.[1]
Penelitian terakhir yang paling relevan dengan tema punulis adalah buku tentang  Politik Etnik; Dinamika Politik Lokal di Kendari, Disertasi yang ditulis oleh Doktor Sosiologi Perdesaan IPB ini bercerita mengenai dinamika politik di kendari namun dilihat dari sudut Arena Ekonomi Politik lokal. Arena ekonomi politik lokal adalah kondisi obyektif dimana terjadi pertarungan antar aktor untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi dengan kekuasaan (politik) atau sebaliknya di tingkat lokal. Istilah pertarungan diambil dari definisi arena yang dirujuk dari pendapat Bourdieu (Boudieu dan Wacquant 1992). Menurutnya arena adalah field of struggle, di mana para aktor berjuang meningkatkan posisi objektif mereka. Karena berada di arena pertarungan,[2] para aktor menerapkan berbagai strategi, yaitu “the active deployment of objectively oriented ‘'lines of action’ that obey regularities and form coherent and socially intelligible patterns” (Wacquant 1992: 25). Namun, pilihan-pilihan strategi yang tersedia bagi aktor dibatasi kondisi objektif mereka di arena. Di arena, terdapat distribusi modal[3] tertentu dan cara pandang mereka terhadap arena tersebut (Bourdieu dan Wacquant 1992). Hal ini dikarenakan di dalam arena masing-masing memiliki aturan. Adapun aturan yang dimaksud adalah aturan yang berlaku dalam arena ekonomi politik. Agar pemahaman menjadi utuh tentang arena ekonomi politik lokal, maka konsepsi teoritik Granovetter[4] (sosiologi ekonomi baru) dan Nordholt dan Klinken[5] (politik lokal) menjadi diskursus yang menarik. Diskursus diorientasikan untuk menemukenali konteks arena ekonomi politik lokal yang di dalamnya terdapat aturan-aturan.
 Penelitian tersebut menggunakan metodologi kualitatif berparadigma nonpositivistik. Sifat penelitian adalah subyektivisme, obyektivisme, dan historis yang dijadikan sebagai panduan menentukan responden. Agar terhindar dari jebakan subyektivisme versus obyektivisme, peneliti menggunakan perspektif strukturalisme-konstruktivisme. Strukturalis dimaksudkan bahwa sosiologi berusaha mencari proses pola relasi yang bekerja dibelakang aktor, sedangkan konstruktivisme berarti sosiologi menyelidiki persepsi common sense dan tindakan aktor. Dengan demikian, membaca aktor harus bolak balik antara struktur obyektif dan subyektif (Mutahir, 2011: 56). Penggunaan perspektif strukturalisme-konstruktivisme juga ditujukan agar pembacaan realitas sosial oleh peneliti mencerminkan sebuah proses dialektika internalisasi-eksternalitas dan eksternalisasi-internalitas. Proses dialektika tersebut adalah upaya memahami struktur obyektif yang ada di luar pelaku sosial (eksterior) dan segala sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial (interior).



Read More