POSITIVISME
Pendekatan
positivisme digagas oleh filsuf Auguste
Comte. Pendekatan positivisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan lahir dan
berkembang melalui pengamatan objek yang positif, artinya objek tersebut dapat
ditangkap dengan pancaindra manusia. Menurut Comte, proses pencarian
kebenaran harus dilakukan melalui
penelitian yang didasarkan pada fakta-fakta yang ada.[1]
Comte juga mengklarifikasikan ilmu kedalam enam bidang. Fisika
sosial(sosiologi) digolongkan sebagai urutan tertinggi bidang keilmuan. Ilmu
sosial dianggapnya sebagai ilmu yang paling kompleks, kongkret, khusus, dan
berkaitan dengan kehidupan manusia dan kelompoknya.[2]
Mengembangkan pemikiran Comte, pada akhir tahun 1903, para ilmuwan politik
positivis melakukan pertemuan ilmuwan-ilmuwan sosial positivis yang disebut New Orleans Meeting. Pertemuan tersebut
membentuk asosiasi ilmuwan politik positivis yang bernama American Politics Science Association(APSA). Para ilmuwan APSA
menginginkan ilmu politik dapat menjadi ilmu yang benar-benar sains layaknya
ilmu-ilmu eksak(fisika, matematika, kimia, dll).[3]
Sebab, hanya dengan cara itulah ilmu politik dapat berkembang pesat layaknya natural sciences lainnya.
Positivisme
(menurut david hume) adalah berasal dari intelektual dan empirisisme Inggris
klasik adalah pelopor tradisi ini. Mereka percaya bahwa pengetahuan adalah
berdasarkan pengalaman dan pengamatan objektif dari dunia empiris, dan harus
diverifikasi dengan ketat prosedur pengujian ilmiah. Positivisme dipeluk oleh
behaviorialistis yang berfokus pada perilaku actor politik yang
sebenarnya, bukan pada aturan-aturan formal dan percaya bahwa metode ilmiah
alam bisa mengubah studi politik menjadi “benar-benar” ilmu pengetahuan.
David
Marsh dan Paul Furlong menjelaskan bahwa positivisme memiliki beberapa
karakteristik, mulai dari segi ontologi dan epistimologi. Secara Ontologi,
Menurut Marsh dan Furlong, dalam positivistik konsepsi tentang realitas sosial
adalah natural(Foundationalist).[4]
Artinya realitas sosial tidak perlu direkayasa, ataupun dikonstruksi karena
sudah ada sebagaimana mestinya. Positivistik melihat bahwa semua hal yang
terlihat dan diucapkan merupakan realitas sosial yang observable. Artinya aspek-aspek yang tak tampak(unobservable) dapat diabaikan. Sebab
itu, positivistik mengenal istilah realitiy
is a sweater.[5]
Disisi ontologi yang lain, dalam positivis semua penjelasan ilmiah haruslah
bersifat sebab-akibat(causal). Positivis
percaya tidak ada gejala alam ataupun yang bersifat isolatif, kebetulan, atau
insidental, karena semuanya sudah diatur dalam hukum alam ataupun sosial.[6]
Positivisme
juga memiliki beberapa karakter dalam aspek epistimologi. Karakter-karakter ini
akan menjawab pertanyaan, tentang apa yang dapat kita ketahui mengenai realitas
sosial dan bagaimana kita bisa mengetahui itu? Positivis memiliki elemen
keilmiahan yang sangat valid dan handal. Penemuan ilmu positivistik dapat diuji
berkali-kali untuk membuat klaim kebenaran. Hal ini mudah saja, karena
positivis dapat mengamati semua realitas yang nampak luar (observable). Adapula tujuan penelitian dalam positivis adalah
menjelaskan realitas, artinya membuat ide, situasi yang jelas, dengan
menggambarkan secara lebih detail atau mengungkapkan fakta dan gagasan yang
relevan dengan realitas sosial. Kemudian, karakteristik diatas membuat klaim
kebenaran positivis dapat diklaim secara universal dan di generalisir pada
kasus lain, apabila terlihat gejala sosial yang sama.
Positivis
juga memiliki ketentuan khusus yaitu menggunakan teori sebagai alat yang
netral. Sebab itu ilmuwan positivis haruslah bersifat objektif dan tidak
terlibat terhadap realitas sosial. Karakter tersebut membuat ilmuwan positivis
harus berjarak dan tidak terlibat dalam meneliti realitas sosial. Karakteristik
lain positivis adalah menggunakan logika berpikir deduktif(umum-khusus).
Hakikat dari logika deduktif adalah sebuah premis dapat digunakan untuk
meramalkan konklusi secara logis ataupun sekedar mengkonfirmasi kebenaran
teori.
POST-POSITIVISME
Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an.
Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn,
para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang
positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia
dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu
penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.
Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki
kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis
aliran post-positivisme bersifat critical realism dan
menganggap bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam
tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti.
Secara epistomologis: Modified dualist/objectivist, hubungan
peneliti dengan realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus
interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Secara metodologis
adalah modified experimental/ manipulatif.
Observasi yang didewakan positivisme dipertanyakan netralitasnya, karena
observasi dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang.
Proses dari positivisme ke post-positivisme melalui kritikan dari tiga hal
yaitu :
1) Observasi sebagai unsur utama metode penelitian,
2) Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat
memiliki sudut pandang yang berbeda dan teori harus mengalah pada perbedaan waktu,
3) Tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis
(Salim, 2001).
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme
dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang
membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses
verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.
Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah
diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
PARADIGMA POST-POSITIVISME
1. PARADIGMA
Dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan memegang peranan yang penting.
Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji
konsistensi dari proses keilmuan. Menurut Thomas Kuhn, paradigma sebagai
seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik
tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah.
Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma sebagai: “Basic
belief system or worldview that guides the investigator, not only in choices of
method but in ontologically and epistomologically fundamental ways.”Pengertian
tersebut mengandung makna paradigma adalah sistem keyakinan dasar atau
cara memandang dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metoda
tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis dan
epistomologis.
ASUMSI DASAR POST POSITIVISME
1. Fakta tidak
bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
2. Falibilitas
Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris,
bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
3. Fakta tidak
bebas melainkan penuh dengan nilai.
4. Interaksi
antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase
objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan
persoalan dan senantiasa berubah.
5. Asumsi dasar
post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
6. Hal itu
berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa
menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
7. Fokus kajian
post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari
sebuah keputusan.
Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada
Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa
realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain
Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari
realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat
secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus
bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu
penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain.[7]
[1]
Purwo Santoso, Membedah Metodologi Ilmu
Politik, UGM, Yogyakarta, 2012
[2]
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat
Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Bab III, Hal 87
[3]
William Rose, Positivism and Its
Critique, London: Sage Publications,
2011, Hal 459
[4] David
Marsh dan Paul Furlong, Ontology and
Epistimology Marsh, A Skin not a
Sweater: Ontology and Epistemology in. Political Science, 2002, Hal 18
[5]
Realitas sosial adalah semua hal yang nampak
[6]
Afan Gaffar, Dua tradisi, Yogyakarta,
1989, Hal 4, Bahan ajar mata kuliah Skope dan Metodologi Ilmu Politik
[7] Purwo Santoso.
2014. Cakupan dan Metodologi Ilmu
Politik. Yogyakarta: UGM. Materi merupakan bahan ajar Mata Kuliah CMIP 2014